This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 19 April 2012

Padmasana, "Stana" Hyang Widhi

Print E-mail
Padmasana, "Stana" Hyang Widhi
Padmasana merupakan bangunan suci untuk men-stana-kan Ida Sanghyang Widhi sebagai simbolis dan gambaran dari makrokosmos atau alam semesta (buana agung). Bangunan suci ini dapat dijumpai hampir di seluruh bangunan suci Hindu di Bali maupun di luar Bali -- dari Pura Kawitan, Kahyangan Desa, Swagina, sampai Kahyangan Jagat. Bahkan, bangunan suci ini ditempatkan sebagai pelinggih utama. Namun, bangunan suci ini masih banyak menyimpan misteri simblolis dan filosofis yang perlu dikupas lebih dalam. Lantas, apa sebenarnya perbedaan padmasana, padma kurung, padmasari atau padma campah?
DI Lontar "Dwijendra Tattwa" disebut, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau (nama lainnya) Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh. Dia datang ke Bali pada tahun 1489 M pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460-1550 M) dengan tujuan untuk menyempurnakan kehidupan agama di Bali.

Sebelum kedatangannya, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik -- penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara horizontal. Ajaran itu diterima dari para maharsi yang datang ke Bali sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah. Bentuk-bentuk pelinggih sebagai simbol atau niyasa ketika itu hanya Meru Tumpang Tiga, Kemulan Rong Tiga, Bebaturan, dan Gedong. Pura-pura di Bali pada saat itu tidak ada yang memakai Padmasana, kondisi ini sampai sekarang masih dijumpai terutama pada pura-pura kuno di Bali.
Disebutkan, pada saat memasuki Pulau Bali, Danghyang Dwijendra masuk ke dalam mulut naga besar dan di dalamnya ia melihat bunga teratai sedang mekar tanpa sari. Hal ini menggambarkan, naga itu adalah Naga Anantabhoga yang merupakan simbol dari Pulau Bali. Agama Hindu sudah berkembang di Bali dengan baik tetapi pemujaan hanya ditujukan kepada dewa-dewa sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi. Dewa-dewa inilah yang disimbolkan sebagai daun bunga teratai yang mekar tanpa sari.

Danghyang Nirartha lalu menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk pelinggih berupa Padmasana, menyempurnakan simbol (niyasa) yang mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap ditinjau dari segi konsep horisontal maupun vertikal. Sehingga, pembangunan Padmasana dapat menjernihkan kekaburan yang terjadi secara fisik bangunan antara pelinggih pemujaan untuk Hyang Widhi dan pelinggih untuk roh suci leluhur yang terjadi saat itu. Sehingga kini, Padmasana dapat dijumpai di seluruh pura di Bali maupun luar Bali sebagai bangunan pelinggih utama.

Makna dan Simbol

Padmasana berasal dari bahasa Kawi, padma artinya bunga teratai, batin, atau pusat. Sedangkan asana artinya sikap duduk, tuntunan, nasihat, atau perintah (Prof. Drs. Wojowasito, 1977). Padmasana berarti tempat duduk dari teratai merah sebagai stana suci Tuhan Yang Maha Esa (I Made Titib, 2001). Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari tempat duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga Padmasana tidak lain dari gambaran alam semesta (makrokosmos) yang merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Dalam Lontar "Padma Bhuana", Mpu Kuturan menyatakan bahwa Bali sebagai Padma Bhuwana. Bunga teratai (padma) dijadikan simbol alam semesta stana Hyang Widhi yang sebenarnya. Dalam Lontar "Dasa Nama Bunga" disebut, bunga teratai adalah rajanya bunga (Raja Kesuma) karena hidup di tiga alam -- akarnya menancap di lumpur, batangnya di air, sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara). Karenanya, bunga ini adalah simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi Wasa dan bunga daunnya yang berlapis-lapis sebagai perlambang dari sembilan arah penjuru mata angin alam semesta (I Ketut Wiana, 2004).

Posisi padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan, bahkan pada bagian puncak Padmasana tampak berbentuk singhasana berbentuk kursi persegi empat. Hal ini akan terjawab kalau orang memperhatikan pesimpen pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan di dasar, di madya, maupun di puncak dari Padmasana (Cudamani, 1998).

Isi pedagingan pesimpen itu, terutama pedagingan puncak yang berbentuk padma terbuat dari emas, diletakkan paling atas di atas singhasana yang berbentuk kursi persegi empat ini. Karena ditanam, meskipun terletak di puncak, benda itu tidak terlihat dari luar. Rupanya pedagingan berbentuk padma dari emas inilah yang memberi nama bangunan itu sehingga bernama Padmasana -- Dewa-dewa dan Ida Sang Hyang Widi bertahta di atasnya.

Simbol dari Padmasana menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan swah). Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga (Anantabhoga dan Basuki) melambangkan alam bawah (bhur loka), badannya (padma termasuk singhasana) melambangkan atmosfer bumi (bwah loka). Sedangkan swah loka tidak dilukiskan dalam wujud bangunan tetapi di dalam pesimpen pedagingan yang berwujud padma dan di dalam puja yang dilukiskan dengan "Om Padmasana ya namah dan Om Dewa Pratistha ya namah."

Bentuk dan Fungsi

Bentuk bangunan Padmasana serupa dengan candi yang dikembangkan dengan pepalihan. Padmasana tidak menggunakan atap. Bangunannya terdiri dari bagian-bagian kaki yang disebut tepas, badan atau batur dan kepala yang disebut sari.

* Pada bagian kaki (dasar) terdapat ukiran berwujud Bedawang Nala (empas atau kura-kura) yang dibelit Naga Anantaboga dan Naga Basuki. Kemudian juga ada ukiran bunga teratai dan karang asti (gajah).

* Pada bagian badan (tengah) terdapat ragam hias berupa pepalihan, karang goak, simbar, karang asti, burung garuda, angsa, dan patung dewa-dewa astadikpalaka (dewa-dewa penjaga kiblat arah angin) seperti Dewa Iswara (timur), Brahma (selatan), Mahadewa (barat), Wisnu (utara), Maeswara (tenggara), Rudra (barat daya), Sankara (barat laut) dan Sambhu (timur laut) dan dewa ini membawa senjata sesuai dengan atributnya. Ada juga Padmasana dengan burung garuda yang mendukung Dewa Wisnu membawa tirta amerta seperti Padmasana di Pura Taman Ayun.

* Pada bagian kepala (sari) terdapat singhasana yang diapit naga tatsaka yang terbuat dari paras yang diukir sesuai bentuknya. Pada belakangnya terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Acintya atau Sang Hyang Taya sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan sikap tari dari dewa Siwa yang disebut dengan Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam semesta.

Fungsi utama Padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Di situlah Tuhan dipuja dalam fungsinya sebagai jiwa alam semesta (makrokosmos) dengan segala aspek kemahakuasaanya. Padmasana adalah niyasa atau simbol stana Hyang Widhi dengan berbagai sebutannya -- Sanghyang Siwa Raditya (dalam manifestasi yang terlihat/dirasakan manusia sebagai matahari atau surya) dan Sanghyang Tri Purusa (dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa). Di Pura Besakih ada Padmasana berjejer tiga, di situ di-stana-kan Parama Siwa (tengah), Sadasiwa (kanan) dan Sang Hyang Siwa (kiri).

Memperhatikan makna niyasa tersebut, jelaslah bahwa makna Padmasana adalah niyasa yang digunakan Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang mengembangkan bentuk niyasa Padmasana adalah pandita dari kelompok Hindu sekte Siwa Sidhanta. Sedangkan Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri yang berfungsi sebagai pengayatan atau penyawangan.

* nk acwin dwijendra

Penulis adalah Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, ST, MA, dosen Fakultas Teknik Jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Udayana.

From: "Putra Semarapura"
Date: Thu, February 8, 2007 3:59 am
To: hindu-dharma@itb.ac.idThis email address is being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/1/8/sisi4.html

Source : HDNet

Pura Luhur Ulun Siwi, Penebel Tabanan


Print E-mail
Pura Luhur Ulun Siwi
Peninggalan Kerajaan Tabanan
Pura Luhur Siwi, Batu Lumbung yang berlokasi di Desa Adat Soka, Senganan, Penebel Kabupaten Tabanan merupakan salah satu Pura peninggalan kerajaan Tabanan. Pura ini sampai saat ini masih terawat dengan baik.
Kabupaten Tabanan sebagai daerah yang dingin dan sampai kinimasih trcatat sebagai lumbung beras daerah Bali, memang dari dulu sudah terkenal. Malahan di jaman kerajaan, keberadaan dunia pertanian di daerah ini mendapat perhatian serius dari para raja. Bukti dari keseriusan kerajaan Tabanan mempertahankan "Lumbung Beras" itu adalah dengan dibuatnya sebuah pura yang dikenal dengan nama Pura Luhur Ulin Siwi.

Dalam perjalanan sejarahnya, pura ini memang dibangun untuk menghormati Dewi Padi, yakni Dewi Kesuburan yang lebih dikenal di Bali dengan sebutan Dewi Sri. Pembuatan pura ini juga menunjukkan upaya-upaya yang dilakukan oleh raja Tabanan dalam pertanian saat itu tidak hanya sebatas sekala, juga niskala.

Di kalangan krama pengempon, pura ini juga sering disebutkan sebagai Pura Batu Lumbung. Dilihat dari lokasi pura ini, Pura Batu Lumbung letaknya sangat agung. Inilah yang menyebabkan mengapa pura ini tampak begitu anggun dari kejauhan. Karena letaknya di puncak pegunungan, sehingga menuju pura ini perlu mendaki gunung atau naik sepeda motor tetapi harus ekstra hati-hati, sebab jalan yang bakal dilalui cukup terjal.

Pemerintahan Tabanan memang berbaik hati. Agar umat tidak susah-susah tangkil ke Pura Ulun Siwi, kini sudah dibuatkan jalan cukup lebar yang kelak nantinya bisa dilalui berbagai jenis kendaraan. Jalan tembus itu panjangnya sekitar 4 km dari Desa Adat Soka, tentu saja jarak yang cukup panjang yang harus dilalui dengan pejalan kami.

Jika kita melihat secara fisik bangunan pura ini, memang tampak sangat memprihatinkan. Sekalipun statusnya sebagai Pura Dang Khayangan, kelihatan sekali pura ini kurang terururs. Walaupun begitu semua ini tidak mengurangi pancaran magis yang dikeluarkan. Justru dengan kondisi sekarang ini, Pura Batu Lumbung tampak lebih medengen. Begitu juga pancaran spritualnya juga sangat tinggi, karena letaknya yang memang sepi, jauh dari keramaian kota dan desingan kendaraan.

"Bangunan pura ini sudah sepertinya direnovasi, aar kelihatan lebih bersih dan teratur" ungkap Jero Mangku I Wayan Sunadi dalam perbincangannya dengan Mingguan Baliaga saat tangkil ke Pura Batu Lumbung ini. Menurut juru sepuh pura, kondisi bangunan pura saat ini masih mendingan dibandingkan dengan dulu. Semua ini karena kepedulian krama pengungsung pura.

Dulu, pura ini sepertinya tidak ada yang mengurus, sekarang sudah lebih bersih, Parahyangannya sudah mulai ditata, begitu juga palinggih yang lainnya. "Walaupun begitu masih banyak bangunan palinggih yang memerlukan perbaikan," katanya menambahkan. Seluruh perbaikan pura ini dilakukan secara gotong royong oleh krama penyungsung, maupun mereka yang pernah tangkil ke Pura Ulun Siwi ini.

"Terus terang saja untuk perbaikan pura ini sekarang membutuhkan dana yang tidak sedikit," katanya menambahkan sembari berharap agar Pemda Bali juga ikut memperhatikan keadaan pura ini. Memang selama ini perbaikan pura ditanggung Pemda Tabanan. *patra


Pura Luhur Ulun Siwi
SINAR GAIB DAN PERINTAH SANG RAJA

Bagaimanakah sejarah berdirinya Pura Batu Lumbung ini?. Jero Mangku I Wayan Sunadi, juru sapuh Pura Ulun Siwi mengungkapkan, keberadaan pura ini erat kaitannya dengan sejarah Kerajaan Tabanan. Dikisahkan Jero Mangku, ketika Kerajaan Tabanan masih diperintah oleh Cokorde Tabanan, daerah ini dilanda bencana kemarau panjang yang sangat hebat. Bencana ini nyaris memusnahkan rakyat. Saat itu raja sangat cemas.

Terkait dengan bencana tersebut raja segera mengambil langkah-langkah untuk menanggulanginya. Raja kemudian mengumpulkan para patih kerajaan untuk merundingkan solusi yang tepat agar wilayahnya segera terbebas dari ancaman bencana kemarau itu.

Dalam paruman mahapatih itu diputuskan, perlu segera dicarikan jalan pemecahan untuk menghindari bencana ini dengan cara mencari sumber mertha. Untuk mencari sumber mertha para patih ditugaskan melakukan semadi disebuah hutan dekat pegunungan yang ada di Desa Soka sekarang ini. Dalam semadi itu ada sebuah ciri berupa cahaya sekadi tatit yang sumbernya tidak jelas. Anehnya cahaya itu selalu berpindah-pindah berkelebat dimana-mana sehingga para patih yang bersemadi menjadi bingung apa gerangan yang akan terjadi. Bahkan tidak jarang cahaya itu muncul diseantero Ageng.

Dari sinar gaib itu didapatkan sebuah pertanda atau cihna berupa "Buah Kekara" sejenis kacang yang sering dipakai sayur. Cahaya itu seolah-olah menuntun keajaiban yang ada di tempat tumbuhnya kekara tersebut. Dalam kesempatan yang sama patih dari kerajaan Tabanan ini juga mendengar sabda yang aneh. Sabda itu menyebutkan, dimana kekara itu tumbuh, disana akan ada sumber mertha yang dicari selama ini. Sabda itu juga mengungkapkan mentiknya (tumbuhnya) kekara merupakan anugrah merta yang bakal muncul.

Benar, setelah dilacak. Keajaiban terjadi, kekara itu tumbuh di Batu Ageng yang sampai kini masih berdiri tegar di pelataran palinggih. Melihat kekara yang tumbuh di Batu ageng itu, patih kerajaan lantas kembali ke Puri menghadap Cokorde Tabanan guna memberitahukan apa yang telah mereka saksikan ketika melakukan semadi.

Sesampainya pepatih itu di Puri diceritakan kejadian yang muncul ditempatnya bersemedi, akhirnya raja memerintahkan agar ditempat itu didirikan sebuah pura, maksud tiada lain mengucapkan terima kasih atas anugrah Ida Sanghyang Widhi yang berkenan mengabulkan permohonan umat. Pura ini dinamakan Pura Luhur Ulun Siwi Batu Lumbung, lokasinya di Desa Adat Soka, Desa Sengan, Penebel Tabanan.

Pura Ulun Danu Watu Lumbung ini merupakan sumber air bagi seluruh Subah-subak yang ada di Tabanan.
* patra

Pura Luhur Ulun Siwi
DITINGGALKAN SUBAK

Walaupun pura ini merupakan sumber air bagi seluruh subak yang ada di Tabanan, namun kini banyak subak-subak sudah tidak peduli lagi dengan keberadaan pura. Akibatnya pura menjadi tidak terurus. Dulu pura ini memang disungsung seluruh subak, sekarang sudah ditinggalkan, ucap Jero Mangku kepada MBA dan kini tinggal disungsung subak yang masih aktif seperti Subak Poh Manis, Subak Pacung, Subak Tegeh, Subak Senganan.

Kalau semua subak bisa bergabung dengan Pura yang merupakan sumber air ini, pura ini bisa direnovasi dengan lancar. Tiang tidak mengerti mengapa subak-subak itu tidak aktif lagi, katanya bernada heran. jro Mangku mengungkapkan, dirinya menjadi suru sapuh di Pura Ulun Siwi ini karena warisan dari ayahnya. Piodalan di Pura ini jatuh pada Weraspati, Umanis Wuluku Sinta atau sehari setelah Pagerwesi.

Setiap piodalan banyak para pamedek yang tangkil ke Pura Batu Lumbung ini. Selain memiliki sejarah yang unik, di Pura ini juga ada sebuah sumber air yang maha dasyat sampai sekarang, tidak habis-habisnya mengalir walaupun dikelola oleh PDAM Tabanan untuk kebutuhan air minum untuk seluruh krama Tabanan.

Sumber air tersebut kini terkenal dengan sebutan "Sumber Air Gembrong" yang juga mengaliri sebuah sungai besar yang bernama Sungai Yeh Aha. Sumber air ini memang dayat diambil sebesar pohon kelapa namun mengalirnya juga sebesar pohon kelapa, papar Jero Mangku Sunadi ketika ada di Pura.

Ditambahkan oleh Jero Mangku pura ini mempunyai persimpangan yang lengkap karena masing-masing pelataran baik jaba tengah, maupun jaba sisi terdapat persimpangan dari berbagai pura yang ada kaitannya dengan pura Batu Lumbung. Adapun Palinggih persipangan yang ada adalah : Palinggih Ageng, Palingih Ibu Pertiwi, Palinggih Penerangan, palinggih Persimpangan Pucak Bukit Puwun, Pasimpangan Danu Tamblingan, dan juga terdapat Palinggih Rambut Sedana yang malinggih Manik Galih. Juga terdapat Bale Agung, Ratu Nyoman, Jero Nyoman. Dalem Batu Lumbung, Puseh Batu Lumbung dan juga Taman Sari

Apakah mereka sudah membuat subak baru atau ada permasalahan yang ada didalamnya. Seorang Petani yang mengaku bernama I Made Sukandia mengatakan, bisa jadi petani meninggalkan pura itu karena letaknya sangat jauh dari sawahnya, sehingga mereka memilih membuat subak sendiri. Walaupun begitu, kata Sukandia, mereka memang lepas dari Subak daerah ini, tetapi untuk tangkil ke Pura Ulun Siwi tetap mereka lakukan.

Seperti tiang, katanya menambahkan, dulu memang pernah masuk subak di sini, namun karena letak sawah saya jauh, maka saya lebih memilih ke subak yang terdekat. Maksudnya biar urusannya tidak begiru berbelit-belit. Lebih-lebih sakuran air disini kan sangat terbatas, sementara anggota subak yang harus dilayani cukup banyak. Saya bersama keluarga sendiri masing-masing tangkil ke Pura Ulun Siwi, lebih-lebih kalau ada odalan.

"Ke Widhi keluarga saya tidak pernah lupa, karena kami masih punya ikatan sejarah dengan pura ini". kata Sukandia yang dibenarkan oleh petani lainnya yang menjadi tetangga pura Ulun Siwi tersebut. Lepasnya krama dari subak ini, jangan diartikan mereka melepaskan diri dari Pura. Itu tidak benar. Bagaimanapun sebagai umat kita harus selalu menjunjung tinggi dan memujak keagungan-NYA.
* patra

Jero Mangku Sunadi:
RAGU MENJDI JURU SAPUH

Dalam perjalanan hidupnya Jero Mangku Sunadi tidak bakal menyangka menjadi pemangku, awalnya dirinya mengaku belum siap dari umur maupun pendidikan agama yang dimiliki. Sebelum menjadi pemangku yang merupakan keturunan dari mendiang ayahnya Jero Mangku Sunadi sempat ragu selama enam bulan. Ini semua karena ketidaktahuannya tentang tata acara agama.

Disamping itu, sebagai manusia dirinya ingin tetap bebas mencari kehidupan untuk keluarga. Tapi apa yang terjadi, malah rumah tangga menjadi berantakan serba tidak benar dan kejadian aneh-aneh terjadi dilingkungan keluarga. Dan yang paling menyakitkan keluarga tiang sakit-sakitan. Berdasarkan dari kejadian itu akhirnya tiang iklas untuk ngayah walaupun tiang tidak tahu tentang kepemangkuan, ucap Sunadi mengisahkan dirinya.

Selanjutnya, ternyata menjadi pemangku tidak memberikan kesuitan hidup dalam sehari-hari baik dari materi maupun dari segi bathin seolah-olah seluruh keluarga ada yang menuntun menuju kehidupan yang lebih baik. Bahkan sebelum menjadi juru sapuh tiang selalu dselimuti dengan mimpi-mimpi.

Di samping mimpi itu pada awalnya dirinya tidak mengerti apa sebenarnya yang akan terjadi, karena tidak paham tentang makna mimpi tersebut, tetapi yang jelas mimpi bukan sekadar angan-angan bunga tidur semata. Di sinilah Mangku Sunadi mulai percaya dengan mimpi yang memiliki makna. Sebenarnya ketika bermimpi ngalap bunga itu, sebagai orang biasa, dirinya sudah bertanya-tanya apa yang bakal terjadi di kemudian hari.

Mimpi itu kemudian direnungkannya dalam-dalam, sampai akhirnya dia diajak untuk menjadi pemamngku. Asal tahu saja, katanya menambahkan. Dirinya sama sekali tidak pernah berangan-angan menjadi seorang pemangku. Dari dulu sampai sekarang tiang tidak pernah punya pikiran seperti itu, katanya polos. Teapi karena itu merupakan titah Ida Bhatara, tiang harus menjalaninya dengan tekun dan tulus. Kalau tidak nanti ada apa-apa yang terjadi dalam keluarga, tiang bisa repot.

Memang, banyak sekali orang-orang yang melakukan penolakan terhadap tugas yang dibebankan kepadanya, apakah menjadi pemangku, sulinggih dan sebagainya, ujung-ujungnya orang itu sakit. Pada saat sakit itulah kemudian mereka baru ingat akan perintah tersebut. Kemudian baru menerima perintah itu setelah ada kejadian. Nah bagi Mangku Sunadi pengalaman itu tentu saja tidak ingin ia alami sendiri, sebab selain takut dirinya juga merasa wajib melakukan dharmaning agama sebagai umat Hindu.

"Tiang melakuka tugas sebagai Pemangku ini dengan perasaan tulus", seloteh Mangku Sunadi lugu. Kewajiban sebagai Pemangu Pura Ulun Siwi ini , Mangku harus bangun pagi-pagi kemudian membersihkan halaman di sekitar pura. Setelah itu mengecek seluruh palinggih di Pura itu lalu membersihkannya. Jika ada umat yang hendak bersembahyang, Mangku Sunadi harus siap melayaninya. Begitulah pekerjaan sehari-hari yang harus dilakukannya dalam rangka menjalani tugasnya sebagai seorang pengabih Ida Bhatara yang bersthana di Pura ini.

Yang lebih menarik lagi Pura sungsungannya merupakan pemurah terhadap keluarganya karena selama ngayah dari sang ayahnya mendapatkan sebuah pica dari Pura. Dan ini tiang pakai sebatas untuk keperluan keluarga. Pica tersebut adalah sebuah permata yang sangat dirahasiakan karena tidak berani diketahui oleh orang banyak. Bahkan paica tersebut bisa dipakai menyembuhkan penyakit bagi keluarganya apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, papar Jero Mangku seraya merahasiakan nama Paica yang kini dimilikinya. * patra
Source : BaliAga 10 - 16 Agustus 2000

Weda Sumber Ajaran Agama Hindu

Weda Sumber Ajaran Agama Hindu

Print E-mail
Pengertian Weda
Sumber ajaran agama Hindu adalah Kitab Suci Weda, yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi. Weda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa.
Weda secara ethimologinya berasal dari kata "Vid" (bahasa sansekerta), yang artinya mengetahui atau pengetahuan. Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Weda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi. Juga disebut kitab mantra karena memuat nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Weda adalah Sruti dan merupakan kitab yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi Wasa.

Bahasa Weda
Bahasa yang dipergunakan dalam Weda disebut bahasa Sansekerta, Nama sansekerta dipopulerkan oleh maharsi Panini, yaitu seorang penulis Tata Bahasa Sensekerta yang berjudul Astadhyayi yang sampai kini masih menjadi buku pedoman pokok dalam mempelajari Sansekerta.
Sebelum nama Sansekerta menjadi populer, maka bahasa yang dipergunakan dalam Weda dikenal dengan nama Daiwi Wak (bahasa/sabda Dewata). Tokoh yang merintis penggunaan tatabahasa Sansekerta ialah Rsi Panini. Kemudian dilanjutkan oleh Rsi Patanjali dengan karyanya adalah kitab Bhasa. Jejak Patanjali diikuti pula oleh Rsi Wararuci.

Pembagian dan Isi Weda
Weda adalah kitab suci yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia. Berdasarkan materi, isi dan luas lingkupnya, maka jenis buku weda itu banyak. maha Rsi Manu membagi jenis isi Weda itu ke dalam dua kelompok besar yaitu Weda Sruti dan Weda Smerti. Pembagian ini juga dipergunakan untuk menamakan semua jenis buku yang dikelompokkan sebagai kitab Weda, baik yang telah berkembang dan tumbuh menurut tafsir sebagaimana dilakukan secara turun temurun menurut tradisi maupun sebagai wahyu yang berlaku secara institusional ilmiah. Kelompok Weda Sruti isinya hanya memuat wahyu, sedangkan kelompok Smerti isinya bersumber dari Weda Sruti, jadi merupakan manual, yakni buku pedoman yang sisinya tidak bertentangan dengan Sruti. Baik Sruti maupun Smerti, keduanya adalah sumber ajaran agama Hindu yang tidak boleh diragukan kebenarannya. Agaknya sloka berikut ini mempertegas pernyataan di atas.

    Srutistu wedo wijneyo dharma

    sastram tu wai smerth,
    te sarrtheswamimamsye tab
    hyam dharmohi nirbabhau. (M. Dh.11.1o).

Artinya:
Sesungguhnya Sruti adalah Weda, demikian pula Smrti itu adalah dharma sastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber ajaran agama Hindu. (Dharma)

    Weda khilo dharma mulam

    smrti sile ca tad widam,
    acarasca iwa sadhunam
    atmanastustireqaca. (M. Dh. II.6).

Artinya:
Seluruh Weda merupakan sumber utama dari pada agama Hindu (Dharma), kemudian barulah Smerti di samping Sila (kebiasaan- kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Weda). dan kemudian acara yaitu tradisi dari orang-orang suci serta akhirnya Atmasturi (rasa puas diri sendiri).

    Srutir wedah samakhyato

    dharmasastram tu wai smrth,
    te sarwatheswam imamsye
    tabhyam dharmo winir bhrtah. (S.S.37).

Artinya:
Ketahuilah olehmu Sruti itu adalah Weda (dan) Smerti itu sesungguhnya adalah dharmasastra; keduanya harus diyakini kebenarannya dan dijadikan jalan serta dituruti agar sempurnalah dalam dharma itu.

Dari sloka-sloka diatas, maka tegaslah bahwa Sruti dan Smerti merupakan dasar utama ajaran Hindu yang kebenarannya tidak boleh dibantah. Sruti dan Smerti merupakan dasar yang harus dipegang teguh, supaya dituruti ajarannya untuk setiap usaha.
Untuk mempermudah sistem pembahasan materi isi Weda, maka dibawah ini akan diuraikan tiap-tiap bagian dari Weda itu sebagai berikut:

SRUTI

Sruti adalah kitab wahyu yang diturunkan secara langsung oleh Tuhan (Hyang Widhi Wasa) melalui para maha Rsi. Sruti adalah Weda yang sebenarnya (originair) yang diterima melalui pendengaran, yang diturunkan sesuai periodesasinya dalam empat kelompok atau himpunan. Oleh karena itu Weda Sruti disebut juga Catur Weda atau Catur Weda Samhita (Samhita artinya himpunan). Adapun kitab-kitab Catur Weda tersebut adalah:

Rg. Weda atau Rg Weda Samhita.
Adalah wahyu yang paling pertama diturunkan sehingga merupakan Weda yang tertua. Rg Weda berisikan nyanyian-nyanyian pujaan, terdiri dari 10.552 mantra dan seluruhnya terbagi dalam 10 mandala. Mandala II sampai dengan VIII, disamping menguraikan tentang wahyu juga menyebutkan Sapta Rsi sebagai penerima wahyu. Wahyu Rg Weda dikumpulkan atau dihimpun oleh Rsi Pulaha.

Sama Weda Samhita.
Adalah Weda yang merupakan kumpulan mantra dan memuat ajaran mengenai lagu-lagu pujaan. Sama Weda terdiri dari 1.875 mantra. Wahyu Sama Weda dihimpun oleh Rsi Jaimini.

Yajur Weda Samhita.
Adalah Weda yang terdiri atas mantra-mantra dan sebagian besar berasal dari Rg. Weda. Yajur Weda memuat ajaran mengenai pokok-pokok yajus. Keseluruhan mantranya berjumlah 1.975 mantra. Yajur Weda terdiri atas dua aliran, yaitu Yayur Weda Putih dan Yayur Weda Hitam. Wahyu Yayur Weda dihimpun oleh Rsi Waisampayana.

Atharwa Weda Samhita
Adalah kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran yang bersifat magis. Atharwa Weda terdiri dari 5.987 mantra, yang juga banyak berasal dari Rg. Weda. Isinya adalah doa-doa untuk kehidupan sehari-hari seperti mohon kesembuhan dan lain-lain. Wahyu Atharwa Weda dihimpun oleh Rsi Sumantu.

Sebagaimana nama-nama tempat yang disebutkan dalam Rg. Weda maka dapat diperkirakan bahwa wahyu Rg Weda dikodifikasikan di daerah Punjab. Sedangkan ketiga Weda yang lain (Sama, Yayur, dan Atharwa Weda), dikodifikasikan di daerah Doab (daerah dua sungai yakni lembah sungai Gangga dan Yamuna.
Masing-masing bagian Catur Weda memiliki kitab-kitab Brahmana yang isinya adalah penjelasan tentang bagaimana mempergunakan mantra dalam rangkain upacara. Disamping kitab Brahmana, Kitab-kitab Catur Weda juga memiliki Aranyaka dan Upanisad.
Kitab Aranyaka isinya adalah penjelasan-penjelasan terhadap bagian mantra dan Brahmana. Sedangkan kitab Upanisad mengandung ajaran filsafat, yang berisikan mengenai bagaimana cara melenyapkan awidya (kebodohan), menguraikan tentang hubungan Atman dengan Brahman serta mengupas tentang tabir rahasia alam semesta dengan segala isinya. Kitab-kitab brahmana digolongkan ke dalam Karma Kandha sedangkan kitab-kitab Upanishad digolonglan ke dalam Jnana Kanda.

SMERTI
Smerti adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Penyusunan ini didasarkan atas pengelompokan isi materi secara sistematis menurut bidang profesi. Secara garis besarnya Smerti dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok Wedangga (Sadangga), dan kelompok Upaweda.

Kelompok Wedangga:
Kelompok ini disebut juga Sadangga. Wedangga terdiri dari enam bidang Weda yaitu:
(1).Siksa (Phonetika)
Isinya memuat petunjuk-petunjuk tentang cara tepat dalam pengucapan mantra serta rendah tekanan suara.
(2).Wyakarana (Tata Bahasa)
Merupakan suplemen batang tubuh Weda dan dianggap sangat penting serta menentukan, karena untuk mengerti dan menghayati Weda Sruti, tidak mungkin tanpa bantuan pengertian dan bahasa yang benar.
(3).Chanda (Lagu)
Adalah cabang Weda yang khusus membahas aspek ikatan bahasa yang disebut lagu. Sejak dari sejarah penulisan Weda, peranan Chanda sangat penting. Karena dengan Chanda itu, semua ayat-ayat itu dapat dipelihara turun temurun seperti nyanyian yang mudah diingat.
(4).Nirukta
Memuat berbagai penafsiran otentik mengenai kata-kata yang terdapat di dalam Weda.
(5).Jyotisa (Astronomi)
Merupakan pelengkap Weda yang isinya memuat pokok-pokok ajaran astronomi yang diperlukan untuk pedoman dalam melakukan yadnya, isinya adalah membahas tata surya, bulan dan badan angkasa lainnya yang dianggap mempunyai pengaruh di dalam pelaksanaan yadnya.
(6).Kalpa
Merupakan kelompok Wedangga (Sadangga) yang terbesar dan penting. Menurut jenis isinya, Kalpa terbagi atas beberapa bidang, yaitu bidang Srauta, bidang Grhya, bidang Dharma, dan bidang Sulwa. Srauta memuat berbagai ajaran mengenai tata cara melakukan yajna, penebusan dosa dan lain-lain, terutama yang berhubungan dengan upacara keagamaan. Sedangkan kitab Grhyasutra, memuat berbagai ajaran mengenai peraturan pelaksanaan yajna yang harus dilakukan oleh orang-orang yang berumah tangga. Lebih lanjut, bagian Dharmasutra adalah membahas berbagai aspek tentang peraturan hidup bermasyarakat dan bernegara. Dan Sulwasutra, adalah memuat peraturan-peraturan mengenai tata cara membuat tempat peribadatan, misalnya Pura, Candi dan bangunan-bangunan suci lainnya yang berhubungan dengan ilmu arsitektur.

Kelompok Upaweda:
Adalah kelompok kedua yang sama pentingnya dengan Wedangga. Kelompok Upaweda terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
(1).Itihasa
Merupakan jenis epos yang terdiri dari dua macam yaitu Ramayana dan Mahabharata. Kitan Ramayana ditulis oleh Rsi Walmiki. Seluruh isinya dikelompokkan kedalam tujuh Kanda dan berbentuk syair. Jumlah syairnya sekitar 24.000 syair. Adapun ketujuh kanda tersebut adalah Ayodhya Kanda, Bala Kanda, Kiskinda Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Utara Kanda. Tiap-tiap Kanda itu merupakan satu kejadian yang menggambarkan ceritra yang menarik. Di Indonesia cerita Ramayana sangat populer yang digubah ke dalam bentuk Kekawin dan berbahasa Jawa Kuno. Kekawin ini merupakan kakawin tertua yang disusun sekitar abad ke-8.
Disamping Ramayana, epos besar lainnya adalah Mahabharata. Kitab ini disusun oleh maharsi Wyasa. Isinya adalah menceritakan kehidupan  keluarga Bharata dan menggambarkan pecahnya perang saudara diantara bangsa Arya sendiri. Ditinjau dari arti Itihasa (berasal dari kata "Iti", "ha" dan "asa" artinya adalah "sesungguhnya kejadian itu begitulah nyatanya") maka Mahabharata itu gambaran sejarah, yang memuat mengenai kehidupan keagamaan, sosial dan politik menurut ajaran Hindu. Kitab Mahabharata meliputi 18 Parwa, yaitu Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedhikaparwa, Asramawasikaparwa, Mausalaparwa, Mahaprastanikaparwa, dan Swargarohanaparwa.
Diantara parwa-parwa tersebut, terutama di dalam Bhismaparwa terdapatlah kitab Bhagavad Gita, yang amat masyur isinya adalah wejangan Sri Krsna kepada Arjuna tentang ajaran filsafat yang amat tinggi.
(2).Purana
Merupakan kumpulan cerita-cerita kuno yang menyangkut penciptaan dunia dan silsilah para raja yang memerintah di dunia, juga mengenai silsilah dewa-dewa dan bhatara, cerita mengenai silsilah keturunaan dan perkembangan dinasti Suryawangsa dan Candrawangsa serta memuat ceitra-ceritra yang menggambarkan pembuktian-pembuktian hukum yang pernah di jalankan. Selain itu Kitab Purana juga memuat pokok-pokok pemikiran yang menguraikan tentang ceritra kejadian alam semesta, doa-doa dan mantra untuk sembahyang, cara melakukan puasa, tatacara upacara keagamaan dan petunjuk-petunjuk mengenai cara bertirtayatra atau berziarah ke tempat-tempat suci. Dan yang terpenting dari kitab-kitab Purana adalah memuat pokok-pokok ajaran mengenai Theisme (Ketuhanan) yang dianut menurut berbagai madzab Hindu. Adapun kitab-kitab Purana itu terdiri dari 18 buah, yaitu Purana, Bhawisya Purana, Wamana Purana, Brahma Purana, Wisnu Purana, Narada Purana, Bhagawata Purana, Garuda Purana, Padma Purana, Waraha Purana, Matsya Purana, Kurma Purana, Lingga Purana, Siwa Purana, Skanda Purana dan Agni Purana.
(3).Arthasastra
Adalah jenis ilmu pemerintahan negara. Isinya merupakan pokok-pokok pemikiran ilmu politik. Sebagai cabang ilmu, jenis ilmu ini disebut Nitisastra atau Rajadharma atau pula Dandaniti. Ada beberapa buku yang dikodifikasikan ke dalam jenis ini adalah kitab Usana, Nitisara, Sukraniti dan Arthasastra. Ada beberapa Acarya terkenal di bidang Nitisastra adalah Bhagawan Brhaspati, Bhagawan Usana, Bhagawan Parasara dan Rsi Canakya.
(4).Ayur Weda
Adalah kitab yang menyangkut bidang kesehatan jasmani dan rohani dengan berbagai sistem sifatnya. Ayur Weda adalah filsafat kehidupan, baik etis maupun medis. Oleh karena demikian, maka luas lingkup ajaran yang dikodifikasikan di dalam Ayur Weda meliputi bidang yang amat luas dan merupakan hal-hal yang hidup. Menurut isinya, Ayur Weda meliptui delapan bidang ilmu, yaitu ilmu bedah, ilmu penyakit, ilmu obat-obatan, ilmu psikotherapy, ilmu pendiudikan anak-anak (ilmu jiwa anak), ilmu toksikologi, ilmu mujizat dan ilmu jiwa remaja.
Disamping Ayur Weda, ada pula kitab Caraka Samhita yang ditulis oleh Maharsi Punarwasu. Kitab inipun memuat delapan bidan ajaran (ilmu), yakni Ilmu pengobatan, Ilmu mengenai berbagai jens penyakit yang umum, ilmu pathologi, ilmu anatomi dan embriologi, ilmu diagnosis dan pragnosis, pokok-pokok ilmu therapy, Kalpasthana dan Siddhistana. Kitab yang sejenis pula dengan Ayurweda, adalah kitab Yogasara dan Yogasastra. Kitab ini ditulis oleh Bhagawan Nagaryuna. isinya memuat pokok-pokok ilmu yoga yang dirangkaikan dengan sistem anatomi yang penting artinya dalam pembinaan kesehatan jasmani dan rohani.
(5).Gandharwaweda
Adalah kitab yang membahas berbagai aspek cabang ilmu seni. Ada beberapa buku penting yang termasuk Gandharwaweda ini adalah Natyasastra (yang meliputi Natyawedagama dan Dewadasasahasri), Rasarnawa, Rasaratnasamuscaya dan lain-lain.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa kelompok Weda Smerti meliptui banyak buku dan kodifikasinya menurut jenis bidang-bidang tertentu. Ditambah lagi kitab-kitab agama misalnya Saiwa Agama, Vaisnawa Agama dan Sakta Agama dan kitab-kitab Darsana yaitu Nyaya, Waisesika, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Wedanta. Kedua terakhir ini termasuk golongan filsafat yang mengakui otoritas kitab Weda dan mendasarkan ajarannya pada Upanisad. Dengan uraian ini kiranya dapat diperkirakan betapa luasnya Weda itu, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Di dalam ajaran Weda, yang perlu adalah disiplin ilmu, karena tiap ilmu akan menunjuk pada satu aspek dengan sumber-sumber yang pasti pula. Hal inilah yang perlu diperhatikan dan dihayati untuk dapat mengenal isi Weda secara sempurna.

Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
Disusun oleh Drs. Anak Agung Gde Oka Netra

Pura Pulaki: Tempat Moksah Sri Patni Keniten

Print E-mail
Pura Pulaki: Tempat Moksah Sri Patni Keniten
PURA Pulaki ini bedekatan dengan Pura Dalem Melanting yakni pantai utara Pulau Bali, termasuk Desa Banyupoh, Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng. Pura atau Khayangan ini disamping sebagai tempat suci untuk memuliakan dan memuja Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam perwujudannya (manifestasi)-Nya. Pura ini juga sebagai tempat memuliakan dan memuja arwah suci dari Sri Patni Kaniten- salah seorang istri dari Danghyang Nirartha yang diberi gelar "Bhatari Dalem Ketut". Pembangunan Pura Pulaki ini ada kaitannya dengan perjalanan Danghyang Nirartha seperti halnya Pura Dalem Melanting. Di dalam Dwijendra Tattwa mengenai asal mula berdirinya pura atau khyangan pulaki disebutkan: Pada waktu itu istri Danghyang Nirartha Sri Patni Kaniten yang berasal dari Blambangan bergelar Mpu Istri Ktut dalam keadaan payah menyembah Danghyang Nirartha dan berkata, "Mpu Danghyang, dinda tidak kuasa lagi melanjutkan perjalanan dan rasanya ajal hamba sudah tiba, karena itu ijinkanlah dinda sampai disini saja mengiringi Mpu Danghyang.
Dengan hormat serta kerenahan hati yang tulus iklas dinda mohon agar diberikan ajaran ilmu gaib sebagaimana yang sudah diberikan kepada anakda Ni Ayu Swabhawa, agar adinda dapat terlepas dari segala dosa dan kembali menjadi Dewa," demikian permohonan Mpu Isteri Ktut.
Danghyang Nirartha lalu menjawab, "baiklah kalau demikian, dinda diam disini saja bersama-sama dengan puteri kita Ni Ayu Swabhawa, ia sudah suci menjadi Bhatari Dalem Melanting, dan adinda boleh menjadi "Bhatari Dalem Ktut" yang akan menjadi junjungan dan disembah orang-orang desa disini. Desa bersama orang-orang yang ada disini akan kanda "Pralina" (hanguskan), sehingga tidak dapat lagi dilihat oleh manusia biasa dan semua orang-orangnya menjadi orang halus (wong gamang) namanya orang "Sumedang", sedang daerah desa ini kemudian bernama "Mpu Laki", demikian kata Danghyang Nirartha.

Setelah itu menggaiblah Mpu Isteri Ktut dan tidak dapat dilihat manusia lagi, dan kemudian Danghyang Nirartha bersama putra-putrinya meneruskan perjalanannya dengan tujuan Gelgel untuk bertemu dengan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang bertahta dan memerintah di Bali. Dalam perjalanannya ini Danghyang Nirartha pertama tiba di Desa Gadingwani, dan oleh orang desa Gadingwani Danghyang Nirartha dimohon agar berkenan untuk sementara waktu tinggal di desa Gadingwani untuk mohon pengobatan, berhubung desa Gadingwani sedang diserang wabah penyakit sehingga banyak rang-orang desa menderita sakit, dan malahan tidak sedikit sudah menemui ajal sebagai korban penyakit yang sedang berkecamuk itu..dan seterusnya.

Begitulah di tempat moksa (menggaibnya) Sri Patni Kaniten atau Mpu Isteri Ktut itu kemudian dibangun sebuah bangunan suci (Pura atau Khayangan) yang diberi nama Pura Pulaki sebagai tempat memuliakan dan memuja Hyang Widhi Wasa. Selain itu disini dimuliakan yaitu Sri Patni Kaniten atau Mpu Isteri Ktut. *patra dari berbagai sumber

JAGA KESUCIAN PURA
PURA Pulaki terletak di Desa Banyupoh, Kecamatan Grokgak, Buleleng. Penyungsung pura atau pengemponnya terdiri atas desa-desa yang ada di Grokgak dan Seririt. Dari kedua Kecamatan ini ada 42 Desa adat atau Subak sebagai pengempon utamanya. Pura Pulaki yang pujawalinya jatuh pada Purnama Kapat ini tetap harus dijaga kesuciannya. Pasalnya di Pura ini ada tempat yang disebut dengan Utamaning Mandala yang sama sekali tidak boleh dinaiki oleh orang sembarangan, mengingat tempat ini boleh dibilang teramat disucikan. Jangan krama pamedek yang boleh kesana (pelinggih utama-red) tiang sebagai pemangku saja tidak dibolehkan menginjak tempat itu.

Dan ini harus ada sejenis upacara tertentu untuk bisa ke pelinggih utama itu. Di pelinggih bawah ada dua pelinggih sebagai penyawangnya. Dari sanalah umat ngaturang bhakti dan menghaturkan sarana upakara, ucap Jro Mangku Mas. Dikatakan karena sangat disucikan pelinggih utama itu, maka harus bebas dari cakar atau "injakan kaki", ini semata-mata untuk menjaga kesucian pura. Jro Mangku pun kurang tahu sejarah persisnya mengapa tidak boleh naik keatas.

Tapi kalau ada upacara besar seperti "ngeteg linggih" di pura baru dibolehkan naik ke atas yakni ke pelinggih utama itu, katanya. Disamping ada persyaratan tidak boleh munggah keatas, terutama utama mandala, juga pamedek disarankan sangat hati-hati dengan kera atau monyet yang berkeliaran disana. Bojog ini sangat nakalnya, sehingga setiap krama pamedek yang kurang hati-hati jangan harap tasnya atau sandalnya dan sarana upakaranya bisa selamat. Setiap bawaan tidak boleh lengah membawanya, karena setiap saat kera ini siap menyambar bawaan pamedek. Ditanya mengapa kera ini sangat licik dan menyambar bawaan pamedek? Dengan enteng Jro Mangku mengatakan, cuma karena lapar saja, karena tidak ada yang mengurusnya. Tapi Jro Mangku hanya bisa menyarankan saja, setiap bawaan dijaga dengan waspada. Karena upakara yang masih suklapun akan siap disambar oleh monyet yang nakal itu.

Kadang-kadang Monyet itu sempat melawan bila kita mau menghalaunya. Banyak pamedek yang takut oleh ulah monyet ini, katanya menambahkan. Sampai saat ini belum diketahui mengapa bojog yang berada didaerah ini begitu beringas terhadap manusia, padahal dulu tidak begitu, jelas I Wayan Natha salah seorang krama di Pura Pulaki. Banyak yang memperkirakan kebringasan bojog ini terhadap manusia, tidak tertutup kemungkinan karena semakin berkurangnya makanan yang ada disekitarnya. Dulu, bojog-bojog itu mencari makanan di hutan disekitar tempat itu, sekarang hutannya sudah tidak ada. Otomatis bojog hanya mengandalkan makanan yang diberikan pamedek dan umat yang kebetulan sembahyang ke pura. Tetapi semua ini masih tetap dalam perkiraan sementara. *patra

NGAYAH, KASISIPAN IDA BHATARA
NGAYAH disuatu tempat atau pura, tidak sembarang orang dapat melakukannya. Dalam perjalanan hidup seseorang sering ada pekerjaan yang disebut dengan ngayah. Ngayah berarti melakukan pekerjaan "tanpa mengharapkan hasil", Dan semuanya harus berdasarkan ketulus iklasan. Begitu juga dialami Jro Mangku Mas, krama asal Brengbeng, Celukan Bawang ini, ketika dihubungi MBA di Pura Pulaki. Dalam hatinya sama sekali tidak terpikirkan untuk ngayah disebuah pura walaupun secara garis keturunan memang sentana pemangku, ujarnya.

Tapi karena tiang tahu yang namanya ngayah pekerjaan berat, paparnya lagi. Tak diduga toh takdir sulit tiang tolak, pasalnya ada sebuah "perintah" yang mengharuskan mau sebagai pengayah. Dalam usia yang telah menginjak 45 tahun Jro Mangku Mas memang masih tampak muda dan penuh semangat. Kegiatan ngayahnya diawali dengan sebuah peristiwa yang terjadi di tahun 1995. Saat itu, katanya mengenang masa lalunya, tiba-tiba rasanya ada sakit yang tidak beres dihati. Sebagai krama Bali tiang yakin sebuah penderitaan yang namanya sakit pasti bisa disembuhkan. Apalagi sakitnya tidak begitu kronis, celotehnya. Berbagai cara sudah tiang upayakan misalnya berobat ke berbagai dokter, semuanya ini tidak menyelesaikan masalah. Payah berobat melalui medis, tiang alihkan saja keberbagai balian. Tapi usaha balian juga tidak ada perubahan. Sakit semakin membandel saja, seolah-olah tidak mau pergi dari badannya. Sehingga tiang menjadi bingung dan ragu. Lebih ragu lagi mau kemana dibawa sakit yang membandel ini. Berdasarkan berbagai mimpi yang telah dialaminya, lantas diputuskannya membawa diri ke seorang dukun yang mumpuni yang berada jauh di Nusa. Oh Tuhan, ternyata jodoh terkuaknya sebuah sakit misterius ini ada pada dukun atau balian dari Nusa tanpa disebutkan namanya. Dari balian ini tiang diharapkan memakai sarana asep (dupa) sebagai terapinya, pasalnya sakit yang dibawa Jro Mangku Mas ini bukanlah penyakit yang mudah disembuhkan. Karena penyakit ini adalah sisipan dari Ida Bhatara tempat leluhurnya ngayah. Balian dari Nusa ini menyarankan, Jro Mangku Mas ngamel dengan sebuah dupa. Dupa itu diletakkan ditempat tidurnya. karena dupa itu sebagai terapi sebagai kesembuhan dirinya, ucap Sang Balian seperti ditirukan Jro Mangku Mas. Akhirnya tanpa diduga, penyakitnya berangsur-angsur hilang. Betapa senangnya hati Jro Mangku Mas saat itu.

Begitu sembuh tahun 1995 dirinya disarankan Balian dari Nusa itu untuk ngayah. Dan jadilah dia Pemangku di Pura Sad Khayangan Pulaki yang merupakan sungsungan Jagat Bali di Bali, sejak saat itu Jro Mangku Mas mulai melaksanakan tugas-tugas kepemangkuan, apakah mabersih-bersih ataukah melayani umat yang bakal pedek tangkil ke pura. Pekerjaan ini dilakukannya dengan tulus iklas, tanpa pamerih.*patra

JRO MANGKU MAS: TIDAK PUNYA OBSESI
DITANYA Obsesinya ngayah sebagai Juru Sapuh dengan jujur Jro Mangku Mas mengungkapkan. Sebenarnya ngayah itu adalah sebuah profesi, kalau sudah menyangkut profesi, otomatis pekerjaan yang dilakukan harus berdasarkan kesenangan hati, tanpa berfikir banyak untung ruginya. Begitu juga dengan tugas tiang sebagai seorang pemangku, katanya sambil tersenyum bangga. Bagaimana sebagai pemangku ini merupakan profesi yang sangat membanggakan. Soalnya ini semua amanat yang diberikan Tuhan kepada kita.

Kembali ke soal untung rugi sebagai seorang pemangku, Jro Mangku Mas menjelaskan, kalau sudah ngayah di tempat suci seperti pura kita tidak boleh terlalu berharap, karena masalah pamerih atau hasil seluruhnya tergantung dari Sang Pencipta. Yang jelas, sebagai Pemangku cuma satu yang tiang minta, "Mogi-mogi Hyang Pramakawi asung suweca ring padewekan tiang keluarga, umat Hindu dan umat manusia yang ada di Mercapada. Inilah yang tiang harapkan. Harta ini tidak dapat diukur dengan uang seberapapun jumlahnya. uang bukan jaminan untuk membahagiakan umat manusia. kalau kita sudah mendapat keselamatan apapun yang akan dicari kemungkinan akan tercapai.

Tinggal kita berusaha menunggu hasilnya sesuai dengan karma kita masing-masing, tukas Jro Mangku dengan penuh harapan. Harapan untuk hidup selamat adalah dambaan umat manusia tanpa terkecuali. Ketika ditanya apa yang sudah didapatkan selama menjadi seorang pemangku. Jro Mangku Mas enggan menjelaskan lebih detail, seakan ada sesuatu yang dirahasiakan. Walaupun begitu Jro Mangku Mas tetap tampil ramah apa adanya, seakan-akan tidak ada beban dalam dirinya. Tampil bersahaja merupakan gaya khas Jro Mangku Mas, karena itu dia selalu merasa dekat dengan umat yang tangkil ke pura. Sedapat mungkin tiang bakal melayani umat dengan baik, katanya enteng. *patra

Kekuatan Kitab Suci

Kekuatan Kitab Suci

Print
Setiap suku kata dalam ayat-ayat Qur’an jika dibaca adalah kekuatan yang mampu menghancurkan segala dosa-dosa yang telah dilakukan. Itu kata teman se-ruangan saya yang juga seorang haji dalam sebuah diskusi ringan belum lama ini. Lalu saya berpikir pantas mereka kalau sejak dini sudah mengenalkan kitab suci kepada anak-cucunya bahkan dari usia taman kanak-kanak, juga saya lihat tetangga kiri-kanan dikomplek perumahan mereka mendatangkan guru-guru ngaji untuk putra-putrinya, demikian juga masjid-masjid selalu disibukan oleh aktifitas anak-anak membaca qur’an dengan bimbingan para guru.
Mereka sudah sedemikian baiknya mempersiapkan generasi mudanya untuk kelak mampu menjadi insan-insan yang cerdas dan spiritual, walaupun faktanya di negeri ini kemerosotan terjadi dimana-mana baik itu moral, kesucian dan kepatutan semakin jauh dari harapan dan justru hal ini  diperparah lagi oleh prilaku para orang tua, ini saya kira berlaku bagi pemeluk semua agama.
Nah bagaimana dengan hindu?
Kita memiliki Srimad Bhagavad Gita dan tentu banyak lagi yang lainnya. Menurut sastra veda Srimad Bhagavad Gita sendiri sudah ada dalam masyarakat manusia sejak dua juta tahun silam, dan Srimad Bhagavad Gita disampaikan sekali lagi oleh Krishna kepada Arjuna kurang lebih lima ribu tahun silam.
Apa yang disampaikan oleh teman saya diatas sesungguhnya kita juga punya karena ada dalam Srimad Bhagavad Gita. Disana terangkum dengan jelas dan sangat indah tentang bagaimana kita menjalani kehidupan ini sesuai dengan prinsip-prinsip dharma agar selalu dalam kesadaran Tuhan untuk  mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik..
Hari minggu yang lalu saya diundang menghadiri yagya di ashram Prahlada juga ada diskusi-diskusi ringan yang intinya bahwa Srimad Bhagavad Gita itu tidak saja mengajarkan bagaimana kita menjalani hidup tetapi juga mengajarkan bagaimana kita menjalani kematian. Saya berterima kasih kepada teman-teman di Prahlada atas undangannya karena dengan demikian saya dapat bersama-sama mereka memuja serta mengagungkan kebesaran Krishna. Saya juga berterima kasih kepada Prabu Devabhaga Das atas buku yang beliau berikan kepada saya.
Nah sehubungan dengan kekuatan ayat-ayat suci, saya kutip dari buku yang beliau berikan:
Ada kisah tentang seorang brahmana yang mempelajari Bhagavad Gita secara teratur. Ia miskin dan tinggal bersama istrinya di sebuah gubug kecil. Sehabis mempelajari Bhagavad Gita setiap hari ia pergi mengemis dan dengan cara demikian dia menghidupi dirinya dan istrinya. Pada suatu hari saat membaca Bhagavad Gita ia sampai pada sloka dalam Bab Sembilan dimana Sri Krishna bersabda yoga ksema vahamy aham  - Aku sendiri akan membawakan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan para penyembahKu, ketika membaca sloka ini ia merasa bingung dan ragu lalu berpikir bagaimana mungkin Bhagavan sendiri membawakan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan para penyembahNya, Bhagavan mungkin saja memerintahkan seseorang untuk membawakan kebutuhan-kebutuhan para penyembahNya misalnya dengan memberikan derma, tapi pernyataan bahwa Bhagavan sendiri mengantarkan kebutuhan-kebutuuha n tersebut rasanya tidak mungkin. Berkali-kali membaca dan mencermati sloka itu sang brahmana tidak bisa mempercayainya sehingga ia mencoret melintang sloka itu dengan tinta merah didalam Bhagavad Gita miliknya, sebab dipikirnya itu adalah sebuah kesalahan. Setelah itu ia pergi melaksanakan kegiatan kesehariannya yakni mengemis.
Dan anehnya pada hari itu semua orang menolak memberinya sedekah apapun. Beberapa orang beralasan bahwa ada anggota keluarga yang meninggal, yang lain beralasan bahwa anaknya sakit sehingga mereka tidak bisa memberikan sedekah pada hari itu.
Pada hari yang sama sesosok anak muda tiba di rumah sang brahmana dan mengetuk pintu, istri brahmana itu membukankan pintu dan kaget melihat ada anak muda ganteng memanggul bungkusan besar di punggungnya. Bungkusan itu berisi berbagai bahan makanan seperti beras, minyak bumbu-buan dan lain-lain, anak itu mengaku sebagai murid sang brahmana dan sang brahmana telah mengirim dia untuk mengantarkan barang-barang ini kerumahnya. Istri brahmana itu yang sedang dalam keadaan terheran-heran menyampaikan kepada anak muda itu bahwa suaminya tidaklah memiliki murid, sehingga tidaklah mungkin suaminya mengirim dia untuk membawakan semua benda ini. Tapi anak itu berkeras bahwa sang brahmana adalah gurunya dan telah menyuruh dia untuk mengantarkan benda-benda ini ke rumahnya.
Anak itu lebih lanjut menyampaikan kepada istri brahmana  itu bahwa sang brahmana tidak puas terhadap dirinya karena ia berjalan lambat sekali memanggul beban sehingga sang brahmana  memukuli dan mencakar punggungnya. Kemudian anak muda itu mengangkat bajunya  memperlihatkan kepada istri sang brahmana bekas-bekas goresan dipunggungnya. Istri brahmana itu kaget sekali mendengar bahwa suaminya bisa menjadi sedemikian kejam sampai memukuli seorang anak muda yang sedemikian tampan. Ia menyuruh anak muda itu masuk kedalam rumahnya  agar ia dapat memasak sesuatu dan memberi dia prasadam. Tidak lama kemudian sang brahmana pulang kerumah dari usahanya untuk mengemis dimana ia pulang dengan tangan hampa. Ia sudah menyiapkan diri bahwa ia dan istrinya harus berpuasa dan ia merasa sangat kecewa. Begitu ia nampak dalam pandangan istrinya sang istri langsung memarahinya karena telah menyuruh seorang anak muda memanggul beban yang sedemikian berat dan kemudian memukuli sang anak karena tidak mampu berjalan cepat. Sang brahmana kebingungan mendapati prilaku aneh istrinya dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi terhadap istrinya. Belum pernah istrinya berbicara seperti itu terhadap dirinya dan ia sama sekali tidak tahu apa yang dibicarakan istrinya. Ia minta agar istrinya menjelaskan dan sang istripun menceritakan apa yang telah terjadi. Istrinya mengatakan bahwa anak kecil itu masih didalam rumah tapi ketika sang brahmana mencarinya sang anak tidak dapat ditemukan dimana-mana.
Kemudian saat ia duduk untuk membaca Bhagavad Gita ia menemukan bahwa sloka yang tadi dicoretnya telah kembali seperti semula – tinta merah coretan itu hilang. Ia mulai menangis karena menyadari bahw anak muda yang telah datang sebenarnya adalah Krishna yang telah datang kerumahnya untuk memenuhi janji yang telah disampaikan didalam Bhagavad Gita bahwa Dia membawakan dan mengantarkan kebutuhan-kebutuhan para penyembahNya. Sang brahmana meratapi nasibnya yang tidak seberuntung istrinya yang telah mendapatkan kesempatan melihat Krishna secara langsung  dan ia menyalahkan dirinya karena meragukan kata-kata Bhagavad Gita. Karena sabda Krishna tidak berbeda dengan diri Krishna, sehingga tindakan sang brahmana mencoret sloka itu sama artinya dengan menggores badan Krishna. Goresan dan darah di punggung sang anak melambangkan tinta merah yang telah digunakan oleh sang brahmana untuk mencoret sloka itu.
Sri Krishna bersabda dalam Bhagavad Gita:
yah sastra-vidhim utsrjya    vartate kama-karatah
na sa sidhim avapnoti    na sukham na param gatim
orang yang meninggalkan aturan kitab suci dan bertindak menurut kehendak sendiri tidak mencapai kesempurnaan, kebahagiaan maupun tujuan tertinggi.
Nah kalau teman saya diatas mengatakan setiap suku kata dalam ayat-ayat qur’an adalah kekuatan untuk menghancurkan dosa-dosa, didalam Srimad Bhagavad Gita sangat jelas  tegas dan pasti bahwa orang yang meninggalkan ajaran veda tidak akan mencapai kesempurnaan, kebahagiaan dan tujuan tertinggi.
Demikian kemaha kuasaan Tuhan yang kadang-kadang membuat kita malu bahkan menangis karena prilaku kita barangkali sering menyimpang dari prinsip-prinsip dharma namun Beliau masih tetap menunjukkan kemaha kuasaannya maha kasih dan maha penyayang.
Dalam diskusi di asrama Prahlada saya sempat menyinggung kita yang selama ini dalam menyampaikan dharma wacana sebagian besar mengambil sabda Krishna dalam ayat-ayat suci Bhagavad Gita, namun hanya sebagian kecil saja dari kita yang mau menundukan hati untuk memuja kepribadian Tuhan yang maha kuasa Sri Krishna. Bahkan mendengar kata kesadaran Krishna saja sudah mencibir penuh kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu. Kalau demikian adanya barangkali kita perlu melakukan perenungan apakah sudah benar apa yang kita lakukan selama ini,  apakah sudah sesuai apa yang kita katakan dengan apa yang kita lakukan.  Memang ini sulit namun harus ada upaya kuat untuk meminimalisir ketidak sesuaian antara kata dan perbuatan itu.
Jika disatu sisi kita mengakui Srimad Bhagavad Gita sebagai sabda Sri Krishna, tapi disisi yang lain kita menolak untuk memuja Beliau, ini artinya ada ketidak sesuaian yang sangat serius antara kata dan perbuatan.
Jika ini yang terjadi maka perenungan dan evaluasi diri merupakan hal yang urgent untuk dilakukan.

Om Namo Bhagavate Vasudevaya

I Wayan Wisanta
[Dari Milis Hindu Lampung]

Sejarah Agama Hindu

Sejarah Agama Hindu

Print E-mail
ImageAgama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.
Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti.

Penampilan agama Hindu yang memberikan kebebasan cukup tinggi dalam melaksanakan upacaranya mengakibatkan banyak para ahli yang menuliskan tentang agama ini tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada dalam agama Hindu.
Sebagai Contoh: "Masih banyak para ahli menuliskan Agama Hindu adalah agama yang polytheistis dan segala macam lagi penilaian yang sangat tidak mengenakkan, serta merugikan agama Hindu".
Disamping itu di kalangan umat Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman yang kurang tepat atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan. Demikianlah tujuan penulisan ini adalah untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang menyimpang serta pengertian yang belum jelas dari hal yang sebenarnya terhadap agama Hindu.

Agama Hindu di India

Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap  Dewa-dewa.
Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.

Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.

Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.

Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.

Masuknya Agama Hindu di Indonesia

Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.

Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.

Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.

Moens dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.

Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.

Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:

Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.

Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

Agama Hindu di Indonesia

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman". Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara".

Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.

Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu"

Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.

Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: "Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.

Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.

Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.

Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.

Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.

Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.

Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada  ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan  menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Direproduksi kembali dari buku Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
Disusun oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka Netra

Babad Pasek

 Babad Pasek

Zaman bahari tatkala nusa Bali dan Lombok masih berkeadaan goncang, sebagai perahu di atas lautan selalu goyang dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada gunung di Bali, bagian Timur gunung Lempuyang namanya. Bagian selatan gunung Andakasa, bagian Barat gunung Watukaru, bagian Utara Gunung Mangu namanya dan pula gunung Bratan. Sebab itu mudahlah oleh Hyang Haribhawana menggoyangkan nusa ini.
Dengan demikian bhatara Pasupati sangat belas kasihan melihat halnya pulau Bali ini, maka berkenanlah Bhatara membongkar sebagian lereng gunung Mahameru, dibawa ke Pulau Bali dan Lombok, si Badawang nala diperintahkan diam bertahan di pangkal gunung, Sang Anantabhoga dan Naga Basuki menjadi tali gunung itu, sedang Naga Taksaka menerbangkan. Diturunkan di Bali pada hari Kamis Keliwon wuku Merakih, sasih kedasa (April) bulan mati (tilem), rah 1, tanggek 1, tahun Caka 11.
Setelah beberapa tahun lamanya rusaklah nusa Bali, pada hari Kamis Keliwon wuku Telu, sedang hari Purnama raya, sasih Kasa (Juli), rah 7, tenggek 2, tahun Caka 27, ketika itu hujan sangat lebat disertai angin topan guruh kilat bersambungan, akhirnya terjadi gempa bumi disertai suara dentuman – dentuman sehingga dua bulan lamanya hujan saja, akhirnya meletus gunung Agung (Tolangkir) keluar air salodaka (air belerang) dari sana.
Setelah beberapa tahun antaranya, maka pada hari Selasa Keliwon wuku Kulantir, sasih Kalima (Nopember), kebetulan bulan Purnama, tahun Caka 31, meletus, pula gunung Agung itu, maka tampak keluar Bhatara Hyang Putrajaya disertai adiknya Bhatari Dewi Danu, turun menuju Besakih, terus menetap bertempat di sana disebut Parhyangan bergelar Hyang Mahadewa. Bhatara Dewi Danu berparhyangan di Ulu Danu Batur dan Bhatara Hyang Genijaya berparhyangan di Gunung Lempuyang.
Demikianlah riwayatnya pada zaman bahari, ketika Bhatara itu berangkat ke Bali diutus Hyang Pasupati, dengan sabdanya “Anakku bertiga kamu Mahadewa, Danu, dan Genijaya tidak lain hanya engkaulah kusuruh pergi ke Bali menjadi Pujangga orang Bali”.
Demikianlah sabda Hyang Pasupati lalu tiga Bhatara aitu datang menyembah, katanya: “Ya Tuhanku Bhatara, bukan karena kami akan menolak perintah Bhatara, hanya kami perlu kemukakan bahwa kami masih dalam keadaan anak - anak belum dewasa, tentunya kami tidak tahu jalan mana yang harus kami tempuh”.
Jawab Hyang Pasupati: “Anakku, janganlah bersusah hati, aku akan memberi engkau wahyu, supaya segala kehendakmu itu kesampaian hendaknya, sebab engkau adalah anakku sekarang”.
Setelah itu maka Bhatara tiga itu diberi yoga, ditempatkan dengan gaib didalam kelapa gading, kemudian berjalanlah mereka itu melalui dasar laut dengan segera tiba di gunung Tolangkir berparhyangan di Besakih. Demikianlah riwayatnya.
Diceritakan pula Bhatara Hyang Pasupati di Gunung Himalaya, memberikan nasehat kepada para Mpu semuanya, katanya: “Cucuku semua, dengarkanlah nasehatku kepada cucuku sekalian, bahwa aku telah memberi izin kepadamu sekalian untuk ke Bali, melaksanakan yoga disana, menyertai anakku Hyang tiga itu”.
Dalam antara itu diceritakan pula orang – orang yang bertapa di lereng Gunung Tolangkir yang berlanjut timbulnya raja yang memerintah pulau Bali. Konon permulaan penjelmaan raja ini diperintahkan oleh Tuhan untuk menjelma dimasukkan ke dalam selubung buah kelapa. Setelah duduk sebagai raja, digelari Shri Aji Masula – Masuli. Ketika itu sangat sejahtera masyarakat Bali, karena raja itu selalu melakukan Dharma keparamerthan, cinta bakti kepada dewa – dewa dan kawitan – kawitan.
Hal ini didengar oleh Shri Aji Mayadanawa, tentang halnya orang Bali semua, suka ria hatinya mempersembahkan Widhi – Widhana pujawali. Kemudian ia menuju ke desa Manikmao. Raja ini berhenti dengan maksud menanti orang – orang Bali yang akan pergi ke Besakih. Kemudian datanglah orang – orang Bali berduyun – duyun laki perempuan, bersama anak cucunya yang masih digendong, membawa sesaji untuk persembahan. Raja Mayadanawa berkata: “Hai engkau orang Bali, akan pergi kemana engkau membawa sesaji persembahan sangat lengkap?”
Orang – orang Bali menjawab: “Ya, Tuhanku, kami sekalian pergi ke Pura Besakih, ke Dalempuri, mempersembahkan bakti kepada Bhatari!” Raja bersabda pula: “O, ya, engkau sekalian pergi ke Dalem? Apa yang engkau minta disana?”
“Kami minta tirtha sarining tuwun (sari tanam – tanaman) supaya makmur dan menjadi tanam – tanaman kami dan minta keselamatan diri supaya mandapat umur panjang”, demikian jawab orang – orang Bali.
Raja Mayadanawa menjawab dengan berang serta menghardik: “Jika demikian halmu, aku tidak mengijinkan, jangan engkau kesana, sesungguhnya akulah Dalem Jati di Dalempuri dan di Besakih tidak ada dewa, tidak ada dalem disana, aku diberi bakti, aturi aku saji – saji.
Dengan hal yang demikian itu, tidak seorangpun yang berani meneruskan perjalanannya, semua kembali dengan rasa sedih. Ketika itu terjadi pada tahun Caka 896.
Perbuatan Mayadanawa itu didengar oleh Hyang Mahadewa, yang kemudian ia mohon izin pada Bhatara Pasupati untuk menghancurkan si Mayadanawa. Akhirnya terjadilah peperangan yang sangat panjang. Maka datanglah saatnya Shri Mayadanawa dibinasakan dalam pertempuran serta pula maha patihnya yang bernama Kalawong. Hal itu terjadi dipangkung Patas di sana mereka berdua menjadi tawulan batu padas. Dari seluruh sendi tulangnya mengalir darah yang tiada hentinya sehingga merupakan anak kali. Maka darah itu dikutuk oleh Bhatara Whai Mala yang sekarang dinamai Tukad Petanu.
Dan lagi sebabnya ada yang disebutkan Tirtha Empul dan Whai Cetik, dahulu ketika laskar dewa - dewa dalam keadaan tertekan dalam perang yang banyak menemui ajalnya di Tegal Pegulingan, karena kena air racun atas upayanya Mayadanawa dengan Kalawong, ketika itu mengertilah Bhatara bahwa laskarnya kena tipu muslihat musuh, segera Bhatara melakukan yoga dengan memancangkan panji – panjinya (umbul – umbulnya), maka keluarlah Tirtha Amertha yang sangat besar dan mujarab menghidupkan kembali para laskar dewa yang telah meninggal.
Demikian riwayatnya dahulu diwarisi sampai sekarang.
Setelah beberapa tahun selang dari peperangan itu, Bhatara Pasupati bersabda kepada para Panca Pandita, katanya: “Cucuku sekalian, dengarlah kataku ini! Janganlah engkau lupa terhadap bathin ketuhanan yang menjadi pokok kependetaan terutama ajaran kemoksaan dan ajaran – ajaran filsafat. Kemudian apabila ada turun – turunanmu, anak cucumu, sampaikan juga nasehatmu kepadanya, supaya mereka ingat akan tugas dharmanya terhadap ke-Tuhanan dan kependetaan. Jangan hendaknya anak cucumu lupa dan tidak setia pustaka suci, bukanlah keturunanmu jika lupa akan dharmanya, moga – moga mereka susut menurun menjadi ksatria. Dan yang penting harus diperingatkan, supaya selalu diselenggarakan tempat – tempat pemujaan kepada kawitan – kawitannya (leluhurnya) demikian pula tentang pujawalinya sampai kemudian hari”. Demikian sabda Bhatara Pasupati, maka seluruh Panca Pandita itu diperciki tirtha Amertha baiknya.
Di lain pihak diceritakan Mpu Genijaya pergi ke Bali menumpang perahu dari daun kiambang (kapu – kapu), memakai layar daun pangi, pada hari Kamis Keliwon masa Kadasa tanggal satu (Pratipada gukla) tahun caka 1079 (muka purwatadik witangcu).
Tidak diceritakan panjang lebar betapa hal di dalam perjalanan, pada suatu ketika tibalah di Pantai Nusa Bali yaitu di Cilayukti. Maka terlihat oleh adiknya Mpu Kuturan, bahwa kakaknya datang. Dengan tergopoh – gopoh Mpu turun menjemput kakaknya di pantai, dengan sujud menyembah lalu berkata.
“Selamat datang kakak pendeta, silahkan masuk ke dalam Parhyangan”. Mpu Genijaya mengangguk mengiakan seraya berkata “Marilah kita bersama –sama”, demikian katanya lalu tangannya dituntun oleh adiknya menuju Parhyangan. Setelah sampai dalam parhyangan lalu masing – masing duduk di tempat yang telah tersedia. Selama dalam parhyangan pendeta berkakak adik itu tiada putus – putusnya bercakap – cakap memperbincangkan ajaran agama dan filsafat mengenai Ketuhanan.
Setelah beberapa hari lamanya di Cilayukti, besok paginya pergilah Mpu Genijaya diiringi adiknya Mpu Kuturan menuju ke Dasar. Demi terlihat
oleh Mpu Gana bahwa kakaknya datang, maka dengan tergopoh – gopoh menyongsong seraya menyembah, katanya: “Silahkan paduka kakak pendeta masuk bersama adik Mpu Kuturan”.
Dengan bertuntunan tangan bertiga pendeta berkakak beradik itu masuk dalam parhyangan.
“Silahkan kakak pendeta duduk – duduk katanya Mpu Gana. Marilah adikku berdua, bersama – sama duduk dengan kakak”!
Setelah sama – sama duduk di tempatnya masing – masing dalam parhyangan, maka mulailah pembicaraan yang mengenai ajaran kebatinan, sampai kepada ajaran kemoksaan. Memang demikian seharusnya bagi orang - orang yang telah menduduki derajat Pendeta.
Besoknya pagi – pagi Mpu Genijaya pergi ke Besakih diiringi oleh dua orang adiknya Mpu Gana dan Mpu Kuturan. Setelah tiba, mereka langsung menuju parhyangan tempatnya Mpu Semeru, bahwa kakaknya datang disertai oleh dua orang adiknya, maka sangatlah gembira hatinya seakan – akan mendapat percikan tirtha amertha seraya bersujud mencakupkan tangan menyembah disertai dengan ucapan weda jaya – jaya “selamat datang”. Demikian pula kakaknya membalas dengan weda jaya – jaya, selamat, suara genta seakan – akan kumbang mencari madu bunga. Setelah itu maka Mpu Semeru berkata: ”Kakak Pendeta silahkan duduk bersama – sama adik berdua”. Marilah sama- sama kita duduk adik – adik sekalian, kakak mengijinkan “Jawab Mpu Genijaya”. Setelah sama – sama duduk Pendeta empat itu, maka Mpu Semeru bertanya:”Kapankah kakak pendeta turun ke Bali? Siapa yang mengiring”?
“Kakak sendiri saja tidak ada pengiring, turun di Cilayukti lebih dulu, kemudian ke Dasar, akhirnya datang kemari”. Selanjutnya terus mareka bercakap – cakap tentang hal ilmu bathin, filsafat ke-Tuhanan, Reg dan Yajur Weda, sampai juga kepada satuan – satuan huruf suci (Wijaksara).
Kemudian daripada itu tibalah hari Purnama Kapat, yaitu patirthan Bhatara Putrajaya, lalu pendeta empat itu menghaturkan puja wali. Tidak diceritakan betapa ramainya suasana yajna itu dan sekalian orang sama girang menghaturkan sembah.
Setelah beberapa tahun antaranya, diceritakan kembali halnya Mpu Ketek telah beristri seorang wanita anak dari Arya Padang Subadera. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sanghyang Pamanea. Sedang Mpu Kananda beristri dari anaknya Mpu Swetawijaya, telah juga berputra bernama Sang Kuladewa. Dan Mpu Wiranjana beristri dari anak Mpu Wiranatha. Mpu Witadharma istrinya adalah anak Mpu Darmaja yaitu cucu dari Mpu Yogiswara, berputra bernama Mpu Wiradharma.
Mpu Ragarunting beristri anaknya Mpu Wiratanakung, putranya Mpu Wirarunting. Mpu Prateka mengambil istri anaknya Mpu Pasuruan bernama bang Senetan lalu berputra bernama Hyadnya. Mpu Dangka beristri, anaknya Mpu Semedang. Dari pada itu lahir seorang putranya bernama Mpu Wiradangka, memper seperti nama ayahnya dan memper pula tinggi bathinnya.
Sekianlah jumlah anak dari tujuh bersaudara itu tersebut dalam kitab. Diceritakan pula anaknya Mpu Bradah dua orang laki – laki. Yang pertama bernama Mpu Ciwagandu mengambil istri anaknya Mpu Wiraraga, lalu berputra lima orang, wanita empat, laki seorang, semua elok rupanya, namanya masing – masing ialah: Yang laki bernama Mpu Wiranaga, yang perempuan bernama Ni Dewi Ratna Semeru, Ni Dewi Girinatha, Ni Dewi Patni, Ni Dewi Sukerti.
Anaknya yang kedua bernama Mpu Bahula beristri anak janda raja Jirah bernama Ni Dewi Ratnamanggali. Dari perkawinan ini berputra lima orang, empat orang perempuan dan seorang laki – laki. Namanya masing – masing yang laki – laki bernama Mpu Wiranatha, yang perempuan bernama: Ni Dewi Dwaranika, Ni Dewi Adnyani, Ni Dewi Amrtajiwa, Ni Dewi Amrtamangguli. Itulah semua keturunan Brahmana, tingkah laku dan bathinnya sesuai dengan kawitannya. Apabila salah seorang dari keturunannya itu melanggar nasehat Bhatara Kawitan, maka ia akan kena kutuk tidak dapat berlaku dalam jalan yang benar (mungpang selaku lampah) dan lagi selalu menurun derajatnya menjadi orang hina.__
Diceritakan Sang Mpu Bradah turun ke Bali dengan maksud akan datang menghadap kakaknya di Cilayukti, berhasrat hendak mengetahui bukti – bukti kakuasaan bathin kakaknya. Tidak direntang panjang betapa halnya dalam perjalanan, dikisahkan telah tiba di Cilayukti dengan berperahu kayu pelud yang hanya segenggam panjangnya. Mpu Kuturan seraya katanya: “Adikku selamat datang, silahkan duduk”.
“Ya paduka kakak pendeta, maksud saya datang menghadap ini adalah ingin mengetahui kekuasaan bathin paduka kakak paduka, jika boleh harap diperlihatkan kepada saya. Jawab Mpu Kuturan: “Jika demikian maksud adik baiklah kakak penuhi hasrat adik. Itu di sana ada seekor ayam baru bertelur tiga butir”.
“Terimakasih jika demikian kata Mpu Bradah”. Lalu Mpu Kuturan mengeluarkan kekuasaan bhatin hatinya, yaitu ditarik dengan kekuatan bathin telur itu, maka dengan seketika itu tiga butir telur itu datang dengan sendirinya kehadapan Sang Maharani. Oleh karena itu Mpu Kuturan tiga butir telur itu ditaruh bertumpuk tiga, lalu bertanya: “Adikku, coba terka apakah nanti lahir dari masing – masing telur ini?
“Baiklah”, jawab adiknya, seraya menenangkan bathinnya untuk mempersatukan ketajaman pandangan jiwanya ke dalam telur itu. Tiada lama antaranya Mpu Bradah berkata: “Kakak Pendeta, telur yang tempatnya teratas saya dengar suaranya menyerupai angsa, kiranya angsalah yang lahir dari padanya”.
Jawab kakaknya: “Tidak, naga keluar dari dalamnya”. Tiada lama antaranya, telur yang dibicarakan tadi pecah, lalu keluar anak angsa dari dalamnya.
Mpu Kuturan berkata pula: “Adik, coba terka telur yang ditengah ini; apa nanti lahir dari dalamnya”?
“Baiklah kakak pendeta”, jawab Mpu Bradah. Sebaiknya saya menerka telur terbawah lebih dulu. Gagak putih akan keluar dari dalamnya. Tiba – tiba telur tadi pecah, keluar seekor Gagak putih dari dalamnya, sekejap mata itu telah mulai belajar terbang di udara.
Kata Mpu Kuturan pula: “Adik, kini masih sebutir, coba terka lagi!”
Jawab adiknya: “Ya kakak pendeta, telur ini akan melahirkan dua ekor naga”.
Sekejap itu telur yang ketiga (di tengah) itu pecah keluar dua ekor naga yang buas, mulutnya menganga hebat dahsyat, taringnya tampak tajam – tajam, culanya berapi – api mengkilat – kilat lalu terbang ke udara turun di Besakih. Demikian ceritanya.
Setelah selesai peristiwa yang mentakjubkan itu, lalu Mpu Bradah bersemadi sejenak mencipta dengan kekuatan ilmu aji Basundari dan ketajaman pemandangan, kelihatan olehnya butir telur mengambang di tengah lautan sebelah timur Gunung Cilayukti. Apabila tidak keberatan, coba persatukan pandangan bathin, apa gerangan lahir dari padanya nanti.
“Baiklah kanda coba permintaan adinda” Jawab Mpu Kuturan seraya mengumpulkan dan semusatkan bathinnya dengan ilmu aji Antasiksa guhjawijaya, akan keluar dari dalamnya pancawarna”.
Mpu Bradah berkata: “Tidak”. Tiba – tiba pecah telur itu, keluarlah dari dalamnya hujan bunga panca warna harum semerbak memenuhi udara. Mpu Bradah berkata pula: “Wah benar kakak, coba yang lainnya diterka lagi!”. “Adikku jawab Mpu Kuturan, telur yang di tengah air tirtha Kamandalu asinya”. Tiba – tiba pecah telur yang ditengah itu. Seketika itu bergelora samudra itu, karena kaluarnya air tirtha Kamandalu bertempatkan kendi manik. Mpu Bradah berkata pula: “Kakak pendeta telur yang masih sebutir lagi yang tempatnya terbawah, apa gerangan keluar dari dalamnya, cobalah diterka baik – baik!” Mpu Kuturan menjawab: “Adikku, telur yang terbawah itu Badawangnala lahir dari padanya”. Baru pecah telur itu, memang benar lahir seekor Badawangwala dari dalamnya bersayap gerinsing wayang, berbulu piteala sutra yang sangat mentakjubkan. Ketika itu timbul benci hatinya Mpu Bradah, lalu mengucapkan kutuk katanya.
“Hai kamu Bedawangnala! Karena engkau ia jatuh ke Bumi, dari sejak ini sampai kemudian tidak boleh engkau bertelur dalam lautan moga – moga engkau dimakan ikan besar, salahmu durhaka kepadaku”. Demikianlah sabda Mpu Bradah sangat manjurnya. Itulah sebabnya bangsa penyu bertelur di daratan pantai laut dan banyak makhluk lahir dari padanya misalnya menjadi ular, penyu, empas, dan kura – kura. Beberapa hari antaranya, tibalah hari Kamis Wage dan Jumat Kliwon Wuku Sungsang, yaitu Sugihan Jawa dan Bali, maka beliau itu turut melakukan hari sugihan manik itu. Ketika itu pertama kali dirayakan hari Sugihan Jawa dan Bali. Yang disebut Sugihan Manik atau Ulihan Jawa, hari Kamis Wage, sedangkan Sugihan atau Ulihan Bali, hari Jumat Keliwon Sungsang.
Tiada diceritakan betapa kehidupan selanjutnya, pada suatu hari pulang Mpu Bradah itu ke Jawa, setelah mohon diri kepada kakaknya Mpu Kuturan. Setelah meninggalkan padang lalu pergi ke Gelgel menju Dasarbhuwana. Tidak disebutkan apa pembicaraannya di Gelgel, setelah mohon diri daripada kakaknya disana lalu pergi ke Besakih, kemudian dari Besakih menuju Gunung Lempuyang. Setelah selesai mohon diri kepada kedua kakaknya ini, maka Mpu Bradah melanjutkan perjalannya ke Jawa berparhyangan di Pejarakan.
Tidak diceritakan betapa halnya Mpu Kuturan mengatur kesejahteraan masyarakat. Lama kelamaan maka pulanglah Sang Pancatirtha itu ke Suksmataya (ke alam baka), merupakan dhat Tuhan atau roh suci. Yang disebut Panca Tirtha itu ialah: Mpu Genijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, Mpu Bradah. Kini diceritakanlah lebih lanjut, anak cucu dan turun – turunan dari Sang Panca Tirtha itu semua, sangat astiti dan bakti terhadap Tuhan, terutama terhadap leluhurnya yang telah merupakan Dewata. Pada suatu ketika pada saat akan datangnya hari Purnama Kapat yaitu pujawali Bhatara – Bhatari di Besakih maka bermusyawarahlah Sang Sapta Pandita disertai oleh anak – anaknya sekalian, terutama Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Wira Dharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, Dan Mpu Dangka.
Mpu Ketek berkata: “Adik – adikku dan putra – putraku sekalian, oleh karena Abra Sinuhun (Kawitan) kita telah pulang ke alam baka, serta mengingat nasehat – nasehat beliau dulu, apabila hari Purnama Kapat harus ada pujawali di Besakih. Kini hari yang penting itu akan tiba maksudnya kita harus berkemas akan pergi ke Bali menghadap Bhatara dan menghaturkan Pujawali dan Widhi – Widhana”. Jawa adik – adiknya sekalian: “Jika demikian, kami sangat setuju pendapat paduka kakak, marilah berkemas berangkat”.
Kemudian daripada itu datanglah hari Kemis Wage Sungsang, lalu para Mpu sekalian ke Besakih untuk melakukan Sugimanik di sana dahulu. Setelah selesai di sana dilanjutkan ke Lempuyang, dari Lempuyang ke Dasar dan terakhir di Cilayukti.
Setelah selesai tugas persembahan sekalian para Mpu itu maka mohon dirilah mereka pergi sekalian kembali ke Jawa. Selanjutnya tiap – tiap tahun (ngatewag) para Mpu itu pergi ke Bali menghaturkan pujawali kepada Bhatara – Bhatara (di sebelah Tuhan Yang Maha Esa terhadap roh – roh suci leluhurnya).
Setelah beberapa tahun lamanya, diceritakan bahwa Mpu Ketek telah mempunyai seorang anak dewasa bernama Sanghyang Pamanca mengambil istri seorang Mpu Ciwangandu yang bernama Ni Dewi Daranika termasuk sepupu tingkat kedua (mindon).
Adapun anaknya Mpu Kananda bernama Mpu Swetawijaya beristrikan anaknya Ni Dewi Dwaranika bernama Ni Dewi Adnyani.
Anaknya Mpu Wirajaya bernama Mpu Wiranata beristrikan anaknya Mpu Bahula bernama Ni Ratna Dewi Sumanggali.
Anaknya Mpu Wiradharma bernama Mpu Wiradarma mengambil seorang istri anaknya Mpu Bahula juga yang bernama Ni Dewi Girinatha.
Anaknya Mpu Ragarunting bernama Mpu Paramadaksa beristri kepada anaknya Mpu Ciwagandu bernama Ni Dewi Amrthajiwa. Dan anaknya Mpu Prateka bernama Mpu Pretekayadnya beristri anaknya Mpu Bahula bernama Ni Dewi Sumanggali.
Demikian pula anaknya Mpu Dangka bernama Mpu Wiradangka pun telah beristri anaknya Ciwagandu juga bernama Ni Dewi Sukerti.
Demikian masing – masing para putra Mpu itu telah sama beristri mengambil dari sepupu dan dua pupu (misan dan mindon), semuanya ahli dengan ajaran agama sama halnya dengan ayahnya masing – masing.
Kemudian Mpu Wiradharma berputra Mpu Lempita namanya mengambil istri anaknya Sang Hyang Pamanca bernama Ni Ayu Subrata, kemudian berputra seorang bernama Mpu Jiwaksara.
Dan seorang yang bernama Ni Ayu Sadra adik dari Ni Ayu Subrata dipakai istri Sang Kulpetak melahirkan seorang putra bernama Danghyang Sang Kulputih. Mpu Wiranatha berputra tiga orang, seorang laki – laki bernama Mpu Purwanatha dan dua orang wanita bernama Ni Ayu Wetan dan Ni Ayu Tirtha. Ni Ayu Wetan diperistrikan oleh anaknya Mpu Pradaksa yang bernama Mpu Wirarunting, lalu berputra dua orang laki perempuan. Yang laki – laki bernama Mpu Wira Ragarunting.
Anak Mpu Prateka Adnyana bernama Sang Prateka. Anak Mpu Dangka tiga orang, seorang laki bernama Sang Iradangka, dua orang wanita bernama Ni Ayu Dangka dan Ni Ayu Dangki.
Demikianlah keadaanya anak – anaknya para Mpu waktu di Daha Jawa, semuanya taat melakukan dharma kepanditaan.
Sampai disini kembali lagi diceritakan, bahwa dahulu ketika para Mpu pergi dari negara Daha, diusir oleh Shri Dangdang Gendis yaitu Mpu Pamanca, Mpu Swetawijaya, Mpu Wiranatha, Mpu Wiradharma, Mpu Paramadaksa, Mpu Pratekayadnya, Mpu Wiradangka, semua itu dulu pergi dari Daha disertai oleh anak cucunya berasrama di Tumapel.
Diceritakan pula dahulu anaknya Mpu Pamacekan anaknya Sang Kulpotak, anaknya Mpu Purwanatha, anaknya Mpu Wiradarma, anaknya Mpu Wirarunting, anaknya Mpu Prateka, anaknya Mpu Wiradangka, semuanya itu pergi dari Tumagel, lalu pergi menuju Negara Majapahit, di sanalah mereka berasrama ketika Raja Shri Aji Harsawijaya, ketika itu mulai adanya tujuh bersaudara itu (sanak pitu).
Yang disebut sanak pitu itu adalah: Mpu Pamacekan berputra dua orang laki perempuan yang bernama Arya Pamacekan, yang perempuan bernama Ni Ayu Ler, dipakai istri oleh putranya (cucunya) Mpu Wiradharma, bernama Mpu Wijaksana. Dan anaknya Sang Kulputih, dua orang laki perempuan yang laki bernama Wira Sang Kulputih , yang perempuan bernama Ni Ayu Swani. Adapun anaknya Mpu Purwanatha dua orang laki –laki perempuan bernama Ken Dedes, yang laki – laki bernama Mpu Purwa. Dahulu waktu di Tumapel Mpu Purwa beristri anak Aji Tatar berputra dua orang perempuan yang bernama Ni Swaranika diperstrikan oleh cucunya Mpu Dwijaksana. Adapun Arya Tatar beristrikan anaknya sang Kultul Putih yang bernama Swani.
Adapun anaknya Mpu Ragarunting, anaknya perempuan bernama Ni Wirarunting diperistrikan oleh anaknya Mpu Pratekayadnya yang bernama Mpu Prateka. Dua orang adiknya lagi perempuan bernama Ni kamareka, diperistri oleh anaknya Mpu Wiradangka yang bernama Sang Wira dangka yang bernama Ni Kamawaka. Sedang Ni Swarareka diperistri oleh Arya Kepasekan dan adiknya Wira Kadangkan bernama Ni Swari Dangka. Demikianlah keadaanya di Majapahit, diceritakan setelah wafatnya Shri Aji Bedamuka karena daya upayanya Krian Gajah mada, demikian pula mahapatihnya Krian Pasung Grigis telah dipenjarakan di Desa Tengkulak. Dan setelah meninggalnya Krian Patih Kebo Mayura, sangat sunyi sepi negara Bali, pelaksanaan adat agama sudah lenyap, disebabkan karena tidak ada brahmana diam di Pulau Bali.
Pada waktu menjelang sasih: 6,7,8,9, dan 10 Krian Patih Gajah Mada mengaturi Mpu Dwijaksara supaya turun ke Bali untuk menyelesaikan kewajiban terhadap puja wali Bhatara di Besakih, di Gelgel, di Cilayukti, di Lempuyang, dengan tujuan supaya Pulau Bali mendapat keselamatan dan supaya menjadi Bhagawan Tanya Dalem yang memerintahkan pulau Bali seluruhnya. Demikian permintaan Krian Gajah Mada, sebab itu Mpu Dwijaksara turun ke Bali disertai oleh anak istri dan putranya semua.
Tidak dibicarakan lebih lanjut, pada suatu hari telah tiba di Pura Besakih. Dengan segera memerintahkan orang – orang Bali yang berdiam di sebelah menyebelah parhyangan supaya segera memperbaiki bangunan – bangunan yang ada di dalam parhyangan terutama di Besakih. Orang – orang Bali semua dengan girang memperbaiki masing – masing terutama di Sad Kahyangan masing – masing. Apabila Kajeng Keliwon: 6, 7, macaru ayam pancawarna, itik belang kalung.
Pada sasih 8, caru sanak, ayam manca warna, anjing bang bungkem, itik belang kalung, angsa, kambing, kerbau hitam Sasih 9 ditambah kerbau brakawos, kucit butuh pitu, dinamai tabuh gentuh. Di Besakih mancawalikrama. Sasih 4 anyiabrahma, setelah itu turun Bhatara Kabeh.
Demikian nasehatnya, maka semua orang – orang Bali menghaturkan wali di parhyangan, demikian juga di Besakih, di lempuyang, di Batukaru, di Beratan, di Pejeng, di Andakasa di Gelgel, dan di Cilayukti, mengingat kebijaksanaan jalannya yang ulu dulu. Adapun Dwijaksara berasrama di Gelgel membuatTaman Darmada, harumnya memenuhi taman itu,
karena kebetulan pertengahan masa kapat, kumbang berdengungan suaranya mengisap bunga.
Diceritakan lebih lanjut tentang hal kembalinya para utusan dari Jawa telah tiba di Gelgel. Setibanya di Bali segera mengatur pemerintahan dan menjaga tata tertib susila di seluruh Bali serta mengatur jalannya adat agama mengadakan pura – pura desa balai Agung di seluruh desa di Bali. Demikian pula yang dijaganya parhyangan di Besakih dan sekitarnya gunung Agung, dan pura – pura lainnya di Gelgel, Lempuyang, Cilayukti, Watukaru, Bratan, Andakasa, Pejeng, dan lainnya.
Diatur dan diselenggarakan sesuai dengan yang berlaku dahulu – dahulu, sebagai halnya para leluhur yang telah ke alam baka dulu. Demikian halnya Krian Patih Ulung bersama saudara – saudaranya mengatur pemerintahan. Diceritakan Ki Patih Ulung telah mengambil seorang istri yaitu cucunya Sang Mpu Prateka.
Dari perkawinan ini menghasilkan seorang anak laki – laki bernama Kyai Smaranatha beristrikan cucunya Mpu Wiradangka bernama Rudani, melahirkan seorang anak laki – laki bernama I Rare Angon.
Sementara itu Kyai Bendesa mengambil seorang istri ke desa Manikhyang lalu berputra dua orang laki – perempuan. Yang laki – laki bernama I Bendesa Manikan, yang perempuan bernama Ni Luh Manikan diperistri oleh Kyai Rare Angon ada seorang putranya bernama I Pasek Gelgel. Demikian riwayatnya dahulu keadaan para Mpu tujuh bersaudara itu. Lambat laun turun – turunannya tidak taat kepada Dharmanya, sehingga menurun derajatnya, ada pula yang menjadi orang tani. Disebutkan pula anaknya Mpu Ketek bernama Arya Kepasekan. Anaknya ini beranak pula 2 orang laki perempuan, yang laki bernama Kyai Agung Pamacekan, yang perempuan bernama Ni Luh Pasek. Anak itu diperistrikan oleh Gusti Pasek Agung Subadra berputra 2 orang laki – laki bernama I Pasek Gelgel dan Pasek Denpasar.
Lain lagi anaknya Kyai Gusti Agung Kapasekan bernama Sang Kulputih saudara dari mangku Sang Kulputih, adalah seorang anaknya bernama Kyai Gusti Agung Subadra. Kyai Gusti Agung Subadra berputra 2 orang laki – laki bernama Kyai Tohjiwa dan Kyai Agung Pasek Subadra. Dan putranya Mpu Kananda dulu yang bernama Mpu Swetawijaya, Sang Kuladewa Wara Sang Kulputih, Sang Kulputih ada dua orang anaknya laki perempuan, yang laki bernama Dukuh Sorga, bertempat tinggal di desa Sorga sama –sama taat beryoga semadi di Besakih. Sekalian turunan Dukuh Sorga ini menjadi Mangku Sang Kulputih. Dan pula anaknya Mpu Wiradnyana bernama Mpu Wiranatha telah bernama Mpu Purwanatha, Mpu ini berputra bernama Arya Tatar. Ki Arya tatar ini berputra Kyai Gusti Pasek Lurah Tatar, anaknya bernama De Pasek Tatar. Apa sebabnya demikian, karena lahirnya dahulu dari seorang perempuan dari Shri Aji Tatar.
Adapun anak turunannya Mpu Withadarma tiga orang bernama: Mpu Lempita, Mpu Panandha, dan Mpu Pastika.
Dua orang Mpu ini yaitu Pananda dan Mpu Pastika berasrama di Cilayukti melakukan yoga sangat taat dan melakukan dharma Sukla Brahmacari meniru halnya Mpu Kuturan yaitu terhitung Kempiang dari saudara. Adapun Mpu Lampita berputra Mpu Dwijaksara beristrikan anaknya Arya Tatar lalu bernama Patih Ulung. Patih Ulung ini dijadikan Patih oleh Raja Bali yang bergelar Shri Aji Tapohulung turunan Dalem Masula – Masuli dulu.
Ada diceritakan lagi seorang anak perempuan dari Pangeran Tangkas sedang remaja putri, diambil istri oleh Kyai Pasek Agung Gelgel yaitu saudara sepupu olehnya. I Gusti Tangkas Kuri Agung merasa akan diri keputungan (keputusan warisan turunan), maka ia beramanat kepada I Gusti Agung Pasek Gelgel katanya: “Hai anakku Gusti Agung Pasek Gelgel, karena engkau suka kepadaku, kini bapa menyerahkan diri kepadamu, oleh karena bapa tidak akan mempunyai keturunan lagi (tidak beranak laki- laki). Kini ada seorang anakku perempuan saudara sepupu olehmu, apabila kamu suka, bapa akan berikan kepadamu Gusti Agung.
Dan lagi ada harta benda bapa yaitu isi rumah tangga serba sedikit serta pelayanan 200 orang, semuanya itu anakku mengusahakan. Pendeknya engkau manjadi anak angkatku. Kemudian apabila bapa pulang ke alam baka supaya anakku menyelesaikan upacara jenazahku. Yang penting permintaanku adalah agar sama olehmu melakukan upacara sebagai bapa kandungmu sendiri. Dan peringatanku kepadamu, oleh karena dahulu ada permintaannya Pangeran Mas kepada leluhur kita, yaitu supaya jangan putus turun – turunan kita dengan sebutan Bandesa. Sebabnya ialah supaya mudah oleh beliau kelak mengingati turunan - turunan beliau bila ada lahir dari beliau.
Kini oleh karena bapa memang berasal dari sana, sebab itu bapa minta kepadamu, bila kemudian ada anugerah Tuhan kepadamu terutama kepada bapa, ada anakku lahir dari sepupumu Ni Luh Tangkas, supaya ada juga yang memakai sebutan Bandesa Tangkas itu sampai kemudian, supaya mudah leluhur kita mengingati turun – turunannya nanti di Sorga.
Demikian kata Gusti Tangkas Kori Agung kepada Gusti Pasek Gelgel. Ketika itu I Gusti Pasek Gelgel belum berani memutuskan sendiri dan menurut permintaan itu, lalu minta timbangan suadara – saudara sepupu dan mindonnya. Akhirnya disetujui oleh sekalian saudara – saudaranya, maka ketika itu barulah I Gusti Pasek Gelgel menurut katanya Gusti Tangkas Kori Agung.
Diceritakan I Gusti Agung Pasek Gelgel kawin dengan Ni Luh Tangkas dengan upacara yang besar dan meriah. Kecuali dari sanak saudaranya tamu undangan lainnya sangat banyak datang yang turut memeriahkan perkawinan itu.
Lambat laun cucu Kyai Pasek Agung Gelgel makin mengembang banyak, selalu menjadi tangan kaki Dalem, pengatur balai Agung di pelosok desa di Bali.
Diceritakan pula De Gurun Pasek Gelgel ada dua anaknya, yang sulung bernama De Gurun Pasek Gelgel menjadi kepala pengatur Bale Agung di Desa Gelgel, adiknya bernama De Pasek Togog menjadi pengatur di Besakih berumah di desa Muntig, ahli dalam hal Rajapurana, ahli kependetaan dan segala pengetahuannya terutama upacara jenazah serta adat penyelesaiannya, sampai kepada kemoksaan dan kajang rwabhineda. Kemudian ada tiga orang anaknya laki – laki yang sulung bernama I Dukuh Ambengan, adiknya De Dukuh Sabudi yang bungsu Dukuh Bunga. Adapun De Dukuh Ambengan kemudian bernama De Dukuh Badeg, lalu beranak bernama De Dukuh Prawangsa, semua mengembangkan turunan, semua itu berasal dari satu kawitan.
Lain lagi anak I Gusti Pasek Agung Gelgel yang lahir dari Luh Tangkas Kori Agung berputra empat orang laki – laki, yang sulung bernama I Tangkas Kori Agung, adiknya I Bendesa Tangkas, I Nyoman Pasek Tangkas, dan Pasek Bendesa Tangkas Kori Agung.
Adapun menjadi patindih sebagai Bendesa yang dikirim oleh Dalem ke desa – desa yaitu: I Bendesa Muncan membukti sawah winih 50, I Bendesa Selat Duta mabukti winih 50, Bendesa Sebetan mabukti winih 50, I Bendesa Bugbug mabukti rakyat di Bugbug, I Bendesa Sangkiding mabukti winih 50, I Bendesa Sabegan mabukti winih 50, I Bendesa Timbrah mabukti winih 50, yang bernama Atakapi. Dan I Bendesa Babi mabukti winih 50, I Bendesa Tumbu mabukti winih 50, adapun I Bendesa Manikan mabukti winih 100, I Bendesa Ujung mabukti winih 50.
Adapun I Pasek Agung Gelgel yang menjadi penghulu di Bale Agung yaitu: I Pasek Budaga, De Pasek Sangkan Buana, De Pasek Manduang, De Pasek Ahan, De Pasek Akah, De Pasek Gobleg, De Pasek Bebetin, dan De Pasek Depaa.
I Pasek Akah beranak tiga orang laki – laki bernama: I Wayan Pasek Akah, I Pasek Tabola, I Pasek Wangsian. Adapun De Pasek Muntig, De Pasek Babi, De Pasek Tista, De Pasek Denpasar, De Pasek Batudawa, De Pasek Tulamben, De Pasek Narga, De Pasek Kekeran, semuanya itu turunan De Pasek Gelgel.
Dan De Pasek Tohjiwa turunannya yang menjadi penjaga bumi Tohjiwa, anak – anaknya juga banyak, semuanya menjadi penyelenggara Bale Agung di desa – desa seluruh Bali.
Yang Tertua bernama Ki Paseki Tohjiwa, sebagai nama bapanya, adiknya bernama De Pasek Tanggun Titi, De Panatahan, De Pasek Antasari, De Pasek Galih Ukir, De Pasek Alanglinggah, De Pasek ring Basang, De Pasek Beda, De Pasek Wanagiri, De Pasek Pejaan, De Pasek Pupuan, De Pasek Sanda, sekian jumlah turunan Kyai Pasek Tohjiwa.
Adapun turunan Kyai Agung Pasek Subadra, diminta keluar dari Gelgel menuju Bale Agung di seluruh Bali. Anaknya tertua bernama Pasek Padang Subadra, beruma di Padang, menyelenggaraan Pura Cilayukti, De Pasek Suladri menjadi Dukuh di Suladri, beryoga di Pura Dalem menjadi Pamangku, sebab itu bernama Dukuh Suladri. Semenjak itu bernama Dalem Suladri.
Dan De Pasek Kusamba, De Pasek Bale Agung Bangli, De Pasek Dukuh Pahang, De Pasek Paguyangan, De Pasek Cemangi Munggu, dan De Pasek di Munggu, De Pasek Titigatung, De Juntal. Demikian banyak turunan Kyai Pasek Agung Padang Subadra. Banyak turunannya bercabang ranting.
Adapun turunan De Pasek Tatar, yang sulung bernama Ki Pasek Tatar, adik – adiknya Ki Pasek Panataran di Desa Telengan, De Pasek Mangku Bale Agung Bukit Cemeng, De Pasek Bale Agung, De Pasek Pidpid. Sekian turunan De Pasek Tatar sama – sama mengembangkan turunannya.
Dan turunannya De Pasek Prateka yaitu De Pasek Dukuh Gamengan, De Pasek Dukuh Bilatung, De Pasek prateka ring Akah, De Pasek ring Nongan, De Pasek Rendag, De Pasek Kusaban.
Sekian mulanya turunan I Gusti Pasek Prateka makin berkembang.
Dahulu ada diceritakan Danghyang Nirartha, pergi dari Daha menuju Majapahit menuju Danghyang panataran, di sana berputra dua orang laki- laki. Kemudian pergi ke Pasuruhan di tempat Dnaghyang Parawasikan, berputra dua orang laki- laki, akhirnya beliau ke Brambangan Keniten semuanya, diterima oleh Dalem juru di Brambangan baik – baik. Tetapi lama kelamaan adalah timbul pertikaian – pertikaian, sebab disangka permaisurinya Keniten menaruh cinta kepada Danghyang Nirartha, dituduh memasang guna – guna, sebab itu harum bau keringatnya.
Adapun Dalem juru ada agak kurang beres ingatannya, disuruh istrinya mengarangkan hal dirinya sebab itu ada termasuk dalam nyanyian (poezi) “Siapakah yang akan mengobati birahiku tidak lain permaisuri Kaniten yang seakan – akan Saraswati”.
Danghyang Nirartha pergi dari Brambangan menuju Pulau Bali, mengendarai Waluhkele, tangan dan kakinya digunakan dayung dan kemudian sedang istrinya dan tujuh putrinya dibuat dengan jukung bocor.
Tidak diceritakan betapa halnya dalam pelayaran, pada suatu saat turun Danghyang Nirartha di Kapurancak yaitu di Pantai Pulau Bali. Demikian diceritakan tak dapat taida Dalem Juru akan memenuhi kehancuran sebab seakan – akan telah kena bajra – wisa dan Dalem Baturenggong seakan – akan Parupati.
Setelah Danghyang Nirartha turun di Kapurancak lalu meneruskan perjalanannya ke daratan, diiringi oleh istri dan tujuh orang anaknya.
Di tengah jalan berjumpa dengan seorang gembala, karena ditanya ditanya pendeta, menunjuk arah ke Timur. Dalam perjalanan menempuh hutan itu tiba – tiba bertemu dengan seekor kera besar menghalangi menghadang di tengah jalan kecil itu. Pendeta berkata: “Hai kera besar berikanlah kami jalan.” Lalu kera itupun menghindarkan diri, maka pendeta beserta rombongannya melanjutkan perjalannya.
Tiba – tiba bertemu pula dengan seekor naga besar menghadang di perjalanan, mulutnya menganga setinggi orang berdiri. Pendeta lalu masuk ke mulut naga itu sampai ke dalam perutnya maka dijumpainya sekuntum bunga tunjung lalu dicabutnya. Kemudian keluarlah beliau dengan wajah muka yang hitam warnanya. Dengan hal yang demikian larilah anak istrinya kemudian warna muka pendeta itu berubah menjadi warna emas, maka dikumpulkanlah pula anak istrinya, tetapi sayang seorang anaknya hilang. Putrinya yang hilang itu bernama Ida Ayu Swabawa, tidak lagi merupakan manusia. Ia itu merupakan orang halus yang luput dari umur tua dan mati. Beliaulah dianggap Dalem Melanting di Pulaki. Demikian diceritakan.
Sementara itu Sang Rsi Nirartha sampai di Desa Gadingwani, dan kebetulan waktu itu orang – orang desa Gadingwani diserang penyakit, maka diobati oleh Sang Pendeta dengan sepahnya (adem, susur, bhas, Bali) maka sembuh semuanya. Dengan demikian tahulah Kepala Desa (Bendesa) Gadingwani, bahwa Danghyang Nirartha itu adalah seorang pendeta yang sakti lalu ia menghadap dengan sembahnya serta memohon agar diberi tirtha pembersihan dirinya (diniksan).
Demikianlah tersebar pula kabar yang menyenangkan ini di seluruh Desa Mas. Maka Pangeran menghadap kepada pendeta, dengan sangat hormat memohon supaya memberi ajaran agama kepadanya seraya memberikan tirtha pembersihan (inangshara). Demikianlah riwayatnya.
Ni Ayu Swabhawa yang berbadan gaib di Pulaki, ketika itu ayahnya pergi ke Gelgel akan memberi tirtha pembersihan (ndisain) Dalem Baturenggong, bermalam di Jembrana di Banjarwani Tengah dulu, di rumah De Bendesa Mas karena sangat lama Ni Ayu ditinggalkan oleh ayahnya sangat panas hatinya, lalu beliau mengutuk desa disana yaitu disebelah Utara Rambut Siwi, orang desa di sana sebanyak 800 perinduhan agar terbakar seluruhnya beserta penghuninya. Ki Bendesa minta dengan hormat supaya jangan terus mengutuk desa itu, sementara menanti pendeta dari Gelgel. Tetapi Ni Ayu Swabhawa tidak meluluskan. Hanya ada pemberiannya yaitu santra utama yang dapat dilakukan dalam hidup dan mati bernama Canting Mas dan Siwer Mas, Weda Sulambang Geni, Pasupati rencana. Semua itu boleh dipakai oleh Bedesa Mas dan turun- turunannya selama hidup dalam Pulau Bali.
Kutuk Ni Ayu Makbul. Sebab itu beliau didudukan sebagai Bhatari di Pura Pulaki dijaga oleh orang – orang yang tidak kelihatan yang disebut Sumedang.
Sementara itu ada diceritakan lain, yaitu Danghyang Sidhimantra berputra seorang laki –laki yang tabiatnya suka benar berjudi kesana kemari, terkenal dengan namanya Ida Manik Angkeran. Dahulu semasa beliau masih di Pulau Jawa kalah dalam perjudian, sangat duka cita, lalu dicuri genta bajra pendeta (ayahnya) yang bernama: I Brahmana, segera pergi ke Pulau Bali menuju Tolangkir yaitu: di Besakih, lalu berdoa dengan memusatkan pandangannya ke ujung hidung (angkrana sika) pada sudut sebuah goa, seraya membunyikan genta I Brahmana itu. Maak terdengarlah suara genta itu oleh Bhatara Naga Basuki dari patala, lalu segera beliau keluar menjumpai orang yang membunyikan bajra itu, katanya: “Apa sebabnya engkau Bagus datang ke Bali memanggil aku ini” Ida Manik Angkeran menjawab: “Ya, Bhatara maafkanlah, hamba ingin mohon bunga gilosawit, kembang kuning sawit, agar selalu menang dalam perjudian, untuk bekal ke Majapahit.
Jawab Bhatara: “Jika demikian aku anugrahi engkau menang dalam sambungan ayam supaya banyak mendapat mas, pulanglah engkau Manik Angkeran.” Hingga tiga kali Bhatara mengulangi sabdanya itu. Ida Manik Angkeran masih juga tetap diri tidak pergi dari tempatnya akhirnya ia berkata: “Ya Bhatara hamba ucapkan terima kasih atas anugerah Bhatara. Sebelum hamba meninggalkan tempat ini sebaiknya paduka Bhatara masuk ke Istana terlebih dahulu.”
Bhatara Naga Basuki masuk dalam goa. Setelah setengah bagian ke dalam goa, maka terlihat oleh Manik Angkeran sebuah Intan besar yang gemerlapan menjadi perhiasan ekor Bhatara Naga Raja. Gairah hati Manik Angkeran ingin memiliki intan besar itu tidak tertahan olehnya, lalu segera menghunus keris pejenengan yang bernama I Gopang, dengan secepat kilat diparangkan kepada ekor Bhatara itu. Sekali parang, ekor Naga Raja itu putus, maka segera diambil intan itu, terus dilarikan.
Tidak terperikan murka Bhatara Naga Basuki dengan hal yang demikian itu, segera bekas tapak kaki Manik Angkeran itu dijilat yang sedang lari sangat deras tersungkur jatuh lalu terbakar hangus menjadi abu. Sekalipun demikian akibatnya, namun Bhatara Naga Raja tetap berduka cita.
Diceritakan Danghyang Shidimantra merasa was – was akan terjadi sesuatu bahaya yang menimpa diri anaknya, karena tidak kembali dalam tiga hari dari kepergian bermain sambung ayam. Ketika itu kebetulan hari Purnama masa Kapat, Danghyang Sidhimantra hendak memuja, dicarinya genta bajra si Brahmana sudah hilang, kian bertambah duka cita Sang Pendeta dan merasa dalam bathinnya: “Wahai kiranya I Bagus (Manik Angkeran) pergi ke Bali” segera diambilnya daun alang – alang dikucanya keluar api.
Tidak diceritakan lebih lanjut, lalu Sang Pendeta pergi ke Bali menuju ke Besakih. Di muka goa Bhatara Naga Raja beliau memuja. Tetapi Bhatara tidak keluar. Hingga tiga kali Sang pendeta memuja, tiba – tiba gemetar permukaan bumi berbarengan dengan keluarnya Bhatara Naga Basuki. Terlihatlah oleh Bhatara seorang pendeta pucat lesi wajah durjanya bersanda: “Apa sebab Sang gede datang ke Bali memujaku?”
“Ya Bhatara, hamba mencari anak hamba Ki Manik Angkeran”, jawab Bhatara Sidhimantra. Sabda Bhatara: “Wah ia telah hangus menjadi abu. Sebabnya terjadi demikian itu Manik Angkeran sangat durhaka kepadaku yaitu memotong ekorku ini. Kini apa kehendak Sang Gede? Apa ingin supaya ia hidup? Saya akan meluluskan apabila Sang Gede dapat menyambung ekorku kembali sebagai sediakala.”
Demikian sabda Bhatara.
Jawab Sang Pendeta: “Baiklah hamba mengerjakan perintah Bhatara”. Seketika itu ekor Bhatara Naga Raja yang putus itu dirapatkan dan diberi mantram, maka kembalilah sebagai sedia kala tidak ada cacatnya.
Sabda Bhatara: “Terima kasih Sang Gede karena Sidhi Mantram Sang Gede, mulai saat ini berhenti bernama Mpu Bekung, Mpu Sidhimantra nama yang tepat bagi Sang Gede. Sekarang lihatlah anak Sang Gede, Ki Manik Angkeran. Sang Pendeta menengok ke tempat abu anaknya, tampak sebuah intan di dalamnya. Intan itu diambil lalu abunya diludahi oleh Mpu Sidhimantra. Seketika itu Manik Angkeran hidup kembali, tidak ingat kepada dirinya bahwa ia menjadi abu, segera bangun menggapai intan itu, hendak melarikan diri. Danghyang Sidhimantra cepat berkata: “Hai bagus apa kehendakmu ini? Intan yang kamu gapai – gapai itu telah Bapa yang membawanya”.
Manik Angkeran membuka matanya lebar – lebar memperhatikan orang memanggil namanya. Terlihatlah olehnya Pendeta ayahnya berdiri di hadapannya bersama Bhatara Naga Basuki. Manik Angkeran berdiam malu. Pendeta Sidhimantra berkata: “Anakku Manik Angkeran, ketahuilah dirimu bahwa engkau telah mati kemarin, disebabkan karena terlalu durhaka kepada Bhatara. Kini demi belas kasihan Bhatara engkau hidup kembali, kuserahkan engkau kepada Bhatara supaya menjadi juru sapu Bhatara Gunung Agung, diberi wewenang turun menyelenggarakan sembah bakti rakyat Bali”.
Manik Angkeran menuruti perintah ayahnya seraya menyembah, demikian pula terhadap Bhatara Nagaraja. Danghyang Sidhimantra gembira hatinya melihat anaknya hidup kembali dan telah menuruti nasehatnya, lalu memohon diri kepada Bhatara pulang kembali ke Jawa. Setelah sampai di Pantai Desa Gadingwani maka beliau berhenti berjalan seraya berpikir – pikir: “Jika tidak dibuatkan empengan, tentu I Bagus kembali lagi ke Jawa. Lalu Sang Pendeta Anggranasika (melihat ujung hidung) mempersatukan bathinnya untuk mengadakan suatu ciptaan. Tiba – tiba Desa Gadingwani lenyap seketika itu, lalu digoreskan tongkatnya maka terjadilah suatu hubungan laut Utara dengan laut Selatan merupakan selat kecil dinamai segara Rupet.
Demikianlah riwayatnya yang tercantum dalam pustaka Rajapurana, asal mulanya anak cucu dan turunan – turunan Ida Manik Angkeran menjadi juru sapu paming di Parhyangan Besakih.
Kemudian dari pada itu turun – turunan Ki Pangeran Mas membuat pula pura disana diberinya nama juga Bukeabe, yang patut diselenggarakan oleh Sang Brahmana Wangsa semua terutama oleh turun – turunan I Pangera Mas.
Apabila ada kemudian turun – turunan I Bendesa Mas tidak ingat dengan persembahyangannya terhadap Pura Pule dan Bukeabe, seluruh keluarga Pangeran Masti tidak mendapat selamat, surut kebijaksanaannya, anak cucunya putus, berlaku durhaka dan menyalahi tata tertib/susila, tidak putus – putusnya dirundung kemalangan, karena tidak menuruti ucapan piagam – piagam. Demikianlah amanat I bendesa Mas kepada anak cucunya. “Janganlah engkau anak cucuku lupa terhadap amanatku ini”. Demikianlah kata Bendesa Mas terakhir.
Ada pula anugerah Ida pedanda Dwijendra dulu terhadap I Pasek dan I Bendesa Mas, yaitu:
Pada waktu mati kemudian, boleh memakai trilaksana, menggunung pitu, ancak taman, kapas warna sembilan, karang liman, memakai Bhoma bersayap, berbulu cintya reka, saluyang lengkap dengan segala upakara yang utama, berkajang, berkalasa, berpatrang, berkemul, terpana, paturalangan yang berbentuk serba bintang, boleh dipergunakan nista media utar, matebas – tebas, utamanya dengan uang 8000, madya 4000, nista 2500, nistaning nista 1700.
Semua itu patut diwarisi oleh anak cucunya terus menerus, Amanat paduka Bhatara Sakti Wahurawuh demikian itu dinasehatkan oleh Pangeran Mas kepada anak cucunya.

Sumber : http://nugraha4.tripod.com